Sebelum kita
masuk pada inti permasalahan sebaiknya kita pahamai 2 istilah dalam pendidikan.
Dalam dunia pendidikan ada 2 istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie
dan paedagogiek. Paedagogie artinya pendidikan, sedangkan paedagogiek
berarti ilmu.
Pedagogik
berasal dari kata Yunani Paedagogia yang berarti “pergaulan dengan
anak-anak”. Paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang pada zaman
Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari
sekolah. Paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge
(saya membimbing, memimpin).[1]
Dapat kita
katakan dengan singkat mendidik ialah memimpin anak. Tetapi,
sesungguhnya tidak semudah apa yang kita sangka. Ucapan tersebut mengandung
banyak masalah yang dalam dan luas serta pelik. Mendidik adalah pengertian yang
sangat umum yang meliputi semua tindakan mengenai gejala-gejala pendidikan. Tugas
pendidik tidak hanya “membiarkan tumbuh” pada anak didiknya. Pendidik
hendaknya berusaha agar anak itu menjadi manusia yang lebih mulia.
Dari uraian
diatas dapat diambil sebuah simpulan bahwa pendidikan adalah segala usaha orang
dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani
dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Mengapa
pendidik harus orang yang sudah dewasa?
Mendidik
ialah memimpin anak ke arah kedewasaan. Jadi, yang kita tuju dengan pendidikan
kita adalah kedewasaan si anak. Tidaklah mungkin pendidik membawa anak-anak
kepada kedewasaannya jika pendidik sendiri tidak dewasa. Membawa anak kepada
kedewasaannya bukan hanya dengan nasihat-nasihat, perintah-perintah,
anjuran-anjuran dan larangan-larangan saja, melainkan yang pertama-tama ialah
dengan gambaran kedewasaan yang senantiasa dapat dibayangkan oleh anak dalam
diri pendidiknya, di dalam pergaulan mereka (antara pendidik dan anak didik).
Beberapa
perbandingan antara gejala-gejala keanakan dan gejala-gejala kedewasaan,
sebagai berikut :[2]
ANAK-ANAK
|
DEWASA
|
1.
Mencari bentuk
2.
Tak mempunyai ketetapan
3.
Tak ada kemerdekaan
4.
Kelihatan mudah berubah
5.
Lemah
6.
Memerlukan bantuan
7.
Sangat mudah terpengaruh (belum
mempunyai keyakinan yang tetap)
|
1.
Menampakkan diri sebagai bentuk
2.
Beranggapan mempunyai ketetapan
3.
Merdeka
4.
Tetap, stabil
5.
Kuat
6.
Membantu
7.
Tahu mengambil dan menentukan
jalan (tidak bergantung kepada orang lain)
|
UU No. 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan
bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Berdasarkan
fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap
jenjang, termasuk Sekolah Dasar / Madrasah harus diselenggarakan secara
sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan
karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan
santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di
Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata
kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill
dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia
bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada
hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik
sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Menurut UU
No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1
menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal,
dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal
adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal
sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan
pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar
7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada
dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas
waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil
pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam
lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung
pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan
aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang
tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di
lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh
negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah
satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan
karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan
informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal
ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan
mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta
didik.
TUJUAN PENDIDIKAN
|
Menurut UU
No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang
menyebutkan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, memiliki watak yang baik,
membentuk manusia susila yang cakap, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
A.
Dapatkah watak itu dididik? Atau lebih jelasnya lagi dapatkah anak itu
dididik menjadi manusia yang berwatak susila?
Seorang ahli ilmu watak bangsa Belanda, Prof. Heymans, penganut aliran
determinisme, meragukan akan berhasilnya pendidikan watak terhadap manusia. Ia
berpendapat, dunia hanya dapat memperoleh orang-orang yang mempunyai tingkatan
kesusilaan yang lebih tinggi dengan jalan memilih (seleksi) orang-orang mana
yang boleh mempunyai keturunan.
Berlainan dengan pendapat Kershensteiner, seorang ahli ilmu jiwa bangsa
Jerman, yang mengutarakan hal watak itu antara lain sebagai berikut
1.
Watak
biologis, yaitu
watak yang berhubungan dengan nafsu dan insting yang rendah, yang terikat
kepada kejasmanian. Menurut Kerschensteiner, watak biologis ini tidak dapat
diubah dan dididik.
2.
Watak
inteligibel (watak
budi), yaitu watak yang berhubungan
dengan budi atau akal pikiran manusia, watak intelegibel inilah yang dapat
diubah dan dididik. Watak ini mengandung unsur-unsur kekuatan kemauan,
kejernihan keputusan, kehalusan perasaan dan aufwuhlbarkeit (lama dan
mendalamnya getaran jiwa). Maka jika kita akan memwatak anak, didiklah keempat
unsur tersebut di atas seperti anak harus kita didik agar mempunyai kemauan
yang keras keras untuk melakukan segala sesuatu yang baik dan menjauhi segala
sesuatu yang buruk. Anak harus dididik supaya berperasaan halus, yang berarti
dengan perasaannya itu anak dapat mencintai segala yang baik dan membenci
segala yang tidak baik, dan seterusnya.
Dalam hal ini, kita setuju dengan pendapat Kershensteiner. Kita tidak
dapat dan tidak boleh membiarkan pertumbuhan anak-anak kita sekehendaknya.
Anak-anak kita perlu pimpinan. Anak-anak perlu dididik watak dan kesusilaannya.
B.
Mengapa
pendidikan kesusilaan itu penting? Yang dimaksud dengan pertanyaan ini ialah
mengapa perlu sekali anak-anak kita dididik kesusilaannya? Mengapa justru
mendidik anak-anak menjadi manusia susila diutamakan? Bukankah ada yang lebih
penting lagi daripada kesusilaan itu, seperti mendidik anak-anak kita menjadi
orang yang berilmu pengetahuan tinggi dan pandai mengurus negara atau pandai
tentang pekerjaan teknik yang perlu bagi pembangunan negara?
Seperti yang telah termaktub dalam Undang-Undang Pendidikan Pasal 3 “pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Warisan-warisan dari zaman yang lalu, yang sekarang masih dapat kita
lihat di berbagai lapangan dalam masyarakat kita ini, perlu dan harus diberantas.
Perasaan kebangsaan yang tipis, persatuan yang sudah retak, sifat suka
mementingkan diri sendiri, korupsi, mengkhianati bangsa dan negara, sifat pasif
dan apatis, perasaan harga diri kurang, (minderwaardigheid complex), sifat acuh
tak acuh kepada sesamanya dan sebagainya harus kita berantas.
Kepincangan-kepincangan tersebut tidak mungkin dapat kita lenyapkan
dari masyarakat kita jika anak-anak atau generasi muda kita sekarang ini tidak
kita bentuk, kita didik menjadi manusia yang kita cita-citakan sesuai dengan
cita-cita pendidikan negara kita sekarang ini.
Kesusilaan bukan hanya berarti bertingkah laku sopan santun, bertindak
dengan lemah lembut, taat dan berbakti kepada orang tua saja seperti umumnya
diartikan orang, melainkan lebih luas lagi dari itu. Selalu bertindak jujur,
konsekuen, bertanggung jawab, cinta bangsa dan sesame manusia, mengabdi kepada
rakyat dan Negara, berkemauan keras, berperasaan halus dan sebagainya termasuk
norma-norma kesusilaan yang harus kita kembangkan dan kita tanamkan dalam hati
sanubari anak-anak dan bangsa kita.
Selain hal tersebut di atas, ada lagi hal yang perlu kita perhatikan
pula. Umumnya, kaum guru atau pendidik mengetahui bahwa pendidikan yang berlaku
di Indonesia ini sedikit banyaknya masih bersifat intelektualistis
dan verbalistis. Sekolah-sekolah kebanyakan masih sangat
mementingkan pendidikan intelek, memompakan ilmu pengetahuan kepada otak
anak-anak sehingga kurang atau tidak menghiraukan pendidikan-pendidikan yang
lain, terutama pendidikan kesusilaan atau etika.
Kita akan percuma mendidik anak-anak hanya untuk menjadi orang yang
berilmu pengetahuan saja, tetapi jiwanya, wataknya tidak dibangun dan dibina.
Masyarakat kita menghendaki pemimpin-pemimpin yang jujur, konsekuen, suka dan
giat bekerja dan berkorban, tidak mementingkan diri sendiri.
Dengan singkat, kita katakan bahwa pendidikan kesusilaan atau
membentuk manusia susila adalah sungguh-sungguh hal yang sangat penting,
yang terutama yang harus dilaksanakan oleh para pendidik sebagai pembangun
masyarakat dan negara dewasa ini dan selanjutnya.
C.
Apakah yang dimaksud dengan manusia yang cakap? Samakah cakap itu
dengan banyak pengetahuan? Bilamanakah orang itu dapat disebut cakap?
Banyak orang yang menafsirkan cakap itu sama dengan “pandai”
yang berarti banyak hafal tentang pelajaran yang diberikan di sekolah. Orang
yang berpendirian demikian akan merasa puas jika murid-muridnya hafal dan dapat
mereproduksi kembali pelajaran-pelajaran yang diberikan dan
pertanyaan-pertanyaan atau soal-soal yang diajukan kepada mereka. Bagi pendidik
yang demikian, cakap berarti memiliki pengetahuan banyak dan mendidik manusia
cakap berarti memasukkan pengetahuan-pengetahuan intelektualistis dan nilai
materil yang diutamakan.
Kalau yang dimaksudkan dengan orang yang cakap seperti di atas,
nyatalah bahwa itu tidak benar. Orang yang dididik demikian belum
berarti bahwa ia tentu dapat menunaikan tugasnya di dalam masyarakat. Bahkan
sering kita lihat yang sebaliknya.
Masyarakat membutuhkan syarat-syarat lain yang tertentu dari tiap-tiap
anggotanya. Masyarakat membutuhkan orang-orang yang rajin dan giat melakukan
tugasnya yang telag dipikulkan kepadanya, membutuhkan orang-orang yang dapat
bertanggung jawab dan tahu akan kewajibannya, pandai menggunakan akal dan
pikirannya atau berinisiatif dan melaksanakan tugasnya sehingga selalu mencari
kebaikan dan kemajuan-kemajuan. Orang yang cakap tidak statis, apatis atau masa
bodoh saja. Juga masyarakat membutuhkan orang yang dapat menempatkan diri,
menyesuaikan diri dalam masyarakat sesuai dengan pembawaan, kecakapan dan
kemampuannya. “The right man in the right place”.
Dalam masyarakat terdapat bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang
masing-masing membutuhkan syarat-syarat dan kecakapan yang berlain-lainan dari
anggota-anggotanya. Selain syarat-syarat pengetahuan atau kecakapan rohani,
masyarakat memerlukan pula kecakapan jasmani atau ketangkasan.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa yang dimaksud dengan orang cakap
itu tidak hanya orang yang banyak memiliki ilmu pengetahuan saja. Bahkan, bukan
itu yang nomor satu. Orang disebut cakap jika orang itu pandai menggunakan
daya-daya akal dan pikirannya dengan baik sehingga pekerjaan yang harus
dilakukan dengan menggunakan daya-daya akal dan pikiran dapat berlangusng
dengan cepat dan lancar. Demikian pula, kecapakan itu tidak akan membuahkan
hasil yang baik jika tidak disertai dengan syarat-syarat kesusilaan. Memang,
kita tidak dapat mengartikan cakap itu tanpa memasukkan kedalamnya arti susila.
Susila dan cakap adalah dua hal yang selalu isi mengisi. Bahkan, dapat kita katakana
bahwa kesusilaan adalah dasar bagi kecakapan. Lebih jelas lagi yang diperlukan
oleh masyarakat kita ini adalah orang yang cakap menunaikan tugasnya dengan
bersendikan kesusilaan.
KEWIBAWAAN (GEZAG) DALAM
PENDIDIKAN
|
1.
APAKAH
KEWIBAWAAN (GEZAG) ITU ?
Sebelum kita sampai pada
jawaban pertanyaan ini, akan lebih jelas kiranya kalau kita mulai dengan suatu
contoh :
Pada suatu sekolah ada
seorang Guru A yang sangat disegani oleh murid-muridnya. Mereka (murid-murid)
sangat takut dan patuh kepaanya. Setiap harinya, sebelum Guru A masuk ke dalam
kelas, murid-murid sudah duduk dengan tenang dan tertib menantikan Bapak Guru A
itu mengajar. Semua perintah dan larangan serta nasihatnya yang diberikan
kepada murid-muridnya, di turut dan dipatuhi oleh anak-anak. Anak-anak hormat
kepadanya.
Sebaliknya Guru B yang ada
di sekolah itu kurang di segani anak-anak muridnya. Setiap Guru B itu mengajar,
anak-anak ada saja yang selalu membuat ribut di dalam kelas, sehingga kelas
menjadi ribut. Peringatan-peringatan dan nasihat-nasihat yang diberikannya
tidak tu kurang dihiraukan murid-muridnya. Anak-anak tidak merasa segan atau
patuh kepadanya. Karena itu, Guru B sering marah dan menghukum anak dalam
kelas. Tetapi, anak itu bukan semakin patuh atau menurut kepadanya, bahkan
sebaliknya. Anak-anak mau mengerjakan apa yang diperintahkannya karena mereka
takut, jadi bukan karena merasa atu percaya kepadanya.
Dari contoh di atas dapat
dikatakan bahwa Guru A lebih berwibawa, lebih mempunyai kewibawaan atau gezag
daripada Guru B. Anak-anak lebih patuh dan lebih segan terhadap guru A. Segala
sesuatu yang diperintahkan atau dinasihatkan atau diperingatkan oleh A, lebih
meresap dan lebih mudah serta dengan senang menjalankannya daripada oleh B atau
dengan kata lain pengaruh yang ditimbulkan oleh guru A lebih dipatuhi oleh
anak-anak.
Gezag berasal dari kata zeggen yang berarti “berkata”. Siapa
yang perkataannya mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain, berarti
mempunyai kewibawaan atau gezag
terhadap orang lain. Gezag atau
kewibawaan itu ada pada orang dewasa.
2.
FUNGSI
KEWIBAWAAN DALAM PENDIDIKAN
Bagaimana sikap anak
terhadap kewibawaan pendidik? Dalam hal ini Langeveld menjelaskan[3] :
a)
Sikap
menurut atau mengikut (volgen), yaitu mengakui kekuasaan orang
lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau m,enurut
yang sebenarnya
b)
Sikap
tunduk atau patuh (gehoorzamen), yaitu dengan sadar mengikuti
kewibawaan dan dirinya merasa terikat untuk memenuhi perintah itu.
Dalam hal yang terakhir
inilah tampak fungsi wibawa pendidikan, yaitu membawa si anak kea rah
pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan
mau menjalakannya juga.
Pada anak kecil yang kurang
lebih berumur 3 tahun, tidak terdapat sikap tunduk atau patuh (dan sikap tidak
patuh), yang ada ialah sikap ingin berbuat sama, takut akan muka marah ayah
atau ibu. Jadi, sikap menurut yang ada pada anak kecil itu biasanya karena
takut dimarahi dan lain-lain, atau karena kebutuhannya akan rasa aman,
dilindungi dan rasa kepastian yang bebas dari keragu-raguan.
Bentuk yang paling sederhana
dalam hubungan kewibawaan barulah timbul bila si anak dapat mengerti bahasa
untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang
tidak diperbolehkan oleh pendidik. Oleh karena itu, pentinglah bagi si orang
tua untuk mengucapkan maksudnya dengan tegas dan terang, dengan kata-kata yang
sesuai dengan pengertian si anak, apa sebenarnya yang dikehendaki dan
diharapkan dari si anak itu. Jika si orang tua tidak mempergunakan bahasa yang
demikian, karena malu atau tidak berani memerintah, hal yang demikian akan
mengakibatkan si anak tidak akan belajar patuh atau tunduk dalam arti kata
sebenarnya dan kelak tidak dapat mengakui wibawa di atas dirinya.
3.
BAGAIMANA
PENDIDIK SEHARUSNYA MENGGUNAKAN KEWIBAWAANNYA
Tentu saja yang dimaksud
disini ialah kewibawaan pendidikan, yaitu menolong dan memimpin si anak ke arah
kedewasaannya. Penggunaan kewibawaan pada pendidikan harus berdasarkan
faktor-faktor berikut.
a.
Dalam menggunakan kewibawaannya itu hendaklah
didasarkan atas perkembangan anak itu sendiri sebagai pribadi. Pendidik
hendaklah mengabdi kepada pertumbuhan anak yang belum selesai
perkembangannya. Dengan kebijaksanaan
pendidik, hendaklah anak dibawa ke arah kesanggupan memakai tenaganya dan
pembawaannya yang tepat. Jadi, wibawa pendidikan itu bukan bertugas memerintah,
melainkan mengamati serta memperhatikan dan menyesuaikannya pada perkembangan
dan kepribadian masing-masing anak.
b.
Pendidik hendaklah memberi kesempatan kepada anak
untuk bertindak atas inisatif sendiri. Kesempatan atau keleluasaan itu
hendaknya makin lama makin diperluas, sesuai dengan perkembangan dan
bertambahnya umur anak. Anak harus diberi kesempatan cukup untuk melatih diri
bersikap patuh, karena si anak dapat bersikap tidak patuh. Jadi, dengan wibawa
itu hendaklah pendidik berangsur-angsur mengundurkan diri sehingga akhirnya
tidak diperlukan lagi. Mendidik anak berarti mendidik untuk dapat berdiri
sendiri.
c.
Pendidik hendaknya menjalankan kewajibannya itu dasar
cinta kepada si anak. Ini berarti bermaksud hendak berbuat sesuatu untuk
kepentingan si anak. Jadi, bukannya memerintah atau melarang untuk
kepentingannya sendiri. Cinta itu perlu bagi pekerjaan mendidik. Sebab, dari
cinta atau kasih sayang itulah timbul kesanggupan selalu bersedia berkorban
untuk sang anak, selalu memperlihatkan kebahagiaan anak yang sejati.
4.
KEWIBAWAAN
DALAM PENDIDIKAN
Pelaksanaan kewibawaan dalam
pendidikan itu harus bersandarkan kepada perwujudan norma-norma dalam diri si
pendidik sendiri. Justru karena wibawa si anak ke tingkat kedewasaannya, yaitu
mengenal dan hidup yang sesuai denga norma-norma, maka menjadi syaratlah untuk
si pendidik memberi contoh dengan jalan menyesuaikan dirinya dengan norma-norma
itu sendiri.
Dalam hal ini, kita
menyetujui pendapat Langeveld yang mengatakan “Tidak ada seorangpun yang lebih
banyak kewibawaannya daripada mereka yang mewujukan kewibawaan itu dalam
dirinya sendiri”. Dalam masyarakat orang dewasa hal tersebut tidaklah menjadi
syarat (walaupun tentunya lebih utama).
Wibawa dan pelaksanaan
wibawa dalam masyarakat tetap, akan tetapi dalam pendidikan akan selalu
berkurang dan akhirnya selesai bila telah tercapai tingkat kedewasaan. Hal ini
tidak berarti bahwa si anak (yang telah dewasa itu) tidak lagi mengakui adanya
kewibawaan, sebaliknya dengan kesukarelaan dan keikhlasan sendirilah si anak
mengakui adanya wibawa dan berusaha hidup sesuai dengan kewibawaan itu. Itulah
arti kedewasaan yang tepat.
Dapat juga dikatakan
kekuasaan (gezag) dan pengawasan itu harus berangsur-angsur dikurangi sehingga
kepatuhan anak terhadap pendidik harus berubah menjadi kepatuhan terhadap suara
hatinya, kewibawaan berganti dengan kebebasan. Tugas seorang pendidik ialah
berusaha agar dirinya tidak diperlukan lagi.
GURU SEBAGAI PENDIDIK
|
Bab ini
penulis beri judul “Guru Sebagai
Pendidik” sebab menurut pendapat kami, istilah “guru” sekarang sudah
mendapat arti yang luas lagi dalam masyarakat. Semua orang yang pernah
memberikan suatu ilmu atau kepandaian tertentu kepada seseorang atau sekelompok
orang dapat disebut “guru” misalnya, guru silat, guru mengetik, guru menjahit
bahkan guru mencopet.
A.
SYARAT-SYARAT
MENJADI GURU YANG BAIK
Tugas guru tidak hanya
“mengajar” tetapi juga “mendidik” maka untuk melakukan tugas sebagai guru,
tidak sembarang orang dapat menjalankannya. Sebagai guru yang baik harus
memenuhi syarat-syarat yang di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 tentang
Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia, pada
pasal 15 dinyatakan tentang guru sebagai berikut :
“Syarat utama untuk menjadi guru, selain ijazah dan syarat-syarat yang
mengenai kesehatan jasmani dan rohani, ialah sifat-sifat yang perlu untuk dapat
memberi pendidikan dan pengajaran seperti yang dimaksud dalam pasal 3, pasal 4
dan pasal 5 undang-undang ini”
Dari pasal-pasal tersebut,
maka syarat-syarat untuk menjadi guru dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.
Berijazah
Ijazah
sebagai syarat untuk menjadi guru. Ijazah bukanlah semata-mata sehelai kertas
saja. Ijazah adalah surat bukti yang menunjukkan bahwa seseorang telah
mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan-kesanggupan yang tertentu, yang
diperlukannya untuk suatu jabatan atau pekerjaan.
Sudah
dapatkah dipastikan bahwa setiap orang yang berijazah itu dapat menjalankan
tugasnya dengan baik? Tentu saja belum! Tiap-tiap orang membhutuhkan pengalaman-pengalaman
dalam pekerjaannya untuk memperbaiki dan mempertinggi hasil pekerjaannya. Juga
kita mengetahui bahwa tiap-tiap orang berbeda-beda temperamen, warak dan
kepribadiannya. Hal itu menyebabkan hasil dan kemajuan pekerjaan seseorang
tidak sama pula. Ijazah yang sama tidak berarti bahwa cara dan hasil dari
pekerjaan orang-orangnya sama pula.
2.
Sehat
jasmani dan rohani
Kesehatan
jasmani dan rohani adalah salah satu syarat yang penting bagi tiap-tiap
pekerjaan. Orang tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik jika badannya
selalu di serang oleh suatu penyakit.
3.
Taqwa
kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik
Dalam GBHN
1983 – 1988 antara lain dinyatakan tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa[4] :
Dalam Undang-undang No. 12 tahun 1954 pasal 3 dinyatakan : Tujuan pendidikan
ialah membentuk manusia susila. Ketaqwaan terhadap Tuhan YME, kesusilaan, watak
atau budi tidak berketuihanan YME atau taat beribadah menjalankan agamanya dan
tidak berkelakuan baik. Pembentukan manusia susila yang taqwa kepada Tuhan YME
hanya mungkin diberikan oleh orang-orang yang memiliki dan hidup sesuai dengan
norma-norma agama dan masyarakat serta peraturan-peraturan yang berlaku.
4.
Bertanggung
jawab
Di dalam
pasal 3 yang telah berkali-kali kita bicarakan itu dinyatakan bahwa tujuan
pendidikan, selain membentuk manusia susila yang cakap, juga manusia yang
bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Hal ini berarti
bahwa guru harus berusaha mendidik anak-anak menjadi warga Negara yang baik,
warga yang menginsafi tugasnya sebagai warga Negara. Sebagai warga Negara dari
suatu Negara yang demokratis, harus turut serta memikul tanggung jawab atas
kemajuan dan kemakmuran Negara dan bangsanya.
Pembentukan
warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab itu sungguh suatu tugas yang
tidak mudah, dan hanya dapat dilakukan oleh orang yang berjiwa demokratis dan
yang mempunyai tanggung jawab pula.
Jelaslah
bahwa seorang guru harus seorang yang bertanggung jawab. Sebagai seorang guru,
tentu saja pertama-tama harus bertanggung jawab kepada tugasnya sebagai guru,
yaitu mengajar dan mendidik anak-anak yang telah dipercayakan kepadanya.
5.
Berjiwa
nasional
Untuk
nenanamkan jiwa nasional itu memerlukan orang-orang yang berjiwa nasional pula.
Pendidikan nasional tidak dapat diberikan oleh orang-orang yang a-nasional. “Guru
harus berjiwa nasional” merupakan syarat yang penting untuk mendidik
anak-anak sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah digariskan
oleh MPR, seperti dinyatakan di dalam GBHN 1983-1988 UUD 1945.
Dalam hal
menanamkan perasaan nasional itu, guru hendaklah selalu ingat dan menjaga agar
jangan sampai timbul “chauvinisme”, yaitu perasaan
kebangsaan yang sangat berlebih-lebihan.
B.
SIKAP DAN
SIFAT-SIFAT GURU YANG BAIK
Berikut ini akan kita
uraikan beberapa syarat guru yang lain yang lebih erat hubungannya dengan tugas
guru di sekolah.
Telah dikatakan bahwa salah
satu syarat yang harus dimiliki oleh guru ialah guru harus berkelakuan baik.
Jika kita mengatakan “berkelakuan baik”, maka di dalamnya
terkandung segala sikap, watak dan sifat-sifat yang baik.
1.
Adil
Adakah manusia itu adil?
Bukankah hanya Tuhan yang mempunyai sifat adil? Ya, memang! Di dunia ini tidak
seorangpun yang bersifat adil, kecuali Tuhan. Tetapi, yang dimaksud di sini
tentu saja adil yang dapat dilakukan oleh manusia, bukan keadilan Tuhan Yang
Maha Esa.
Perlakuan yang adil itu
perlu bagi guru, misalnya dalam hal memberi nilai dan menghukum anak (tentang
hukuman akan diuraikan pada materi selanjutnya)
2.
Percaya dan Suka Kepada Murid-Muridnya
Jan Lighthart, seorang ahli
didik yang terkenal pernah berkata, “Semua
pendidikan haruslah didasarkan atas keyakinan bahwa anak itu mempunyau kata
hati. Jika keyakinan itu tidak ada, tak perlulah orang mendidik. Orang yang
lemah dapat dijadikan kuat, orang bodoh dapat dijadikan pandai, tetapi orang
yang tidak punya kata hati tak mungkin diperbaiki”.[5]
Anak-anak adalah makhluk
yang tidak mempunyai cacat-cacat, kecuali cacat-cacat yang mereka harapkan dari
kita untuk menghilangkannya, yaitu kebodohan, kedangkalan dan kurang
pengalaman. Cacat-cacat yang harus kita benci ialah cacat-cacat yang ada pada
orang dewasa, yang sudah menjadi darah daging yang sudah tidak mungkin atau
sudah sukar diperbaiki.
Misalnya kesombongan,
kekejaman yang diperhitungkan, kekecilan hati yang sudah mendalam, keserakahan
yang menjijikkan, egoism yang keterlaluan, kemalasan jiwa dan raga. Semua sifat
itu adalah sifat-sifat yang telah terpelihara puluhan tahun lamanya dan sudah
sukar diperbaiki.
3.
Sabar dan Rela Berkorban
Sifat sabar dan rela
berkorban itu ada pada seorang pendidik jika pendidik itu mempunyai rasa cinta
terhadap anak didiknya. Tidak berlebihan rupanya apa yang dikatakan Jan
Lighthart bahwa pendidikan itu harus berdasarkan cinta, sabar dan bijaksana.[6]
4.
Memiliki Perbawa (Gezag) terhadap Anak-anak
Tanpa adanya gezag pada
pendidik, tidak mungkin pendidikan itu dapat masuk ke dalam hati sanubari
anak-anak. Tanpa kewibawaan, murid-murid hanya akan menuruti kehendak dan
perintah gurunya karena takut atau karena paksaan, jadi bukan karena keinsafan
atau karena kesadaran di dalam dirinya.
5.
Penggembira
Seorang guru hendaklah
memiliki sifat suka tertawa dan suka memberi kesempatan tertawa kepada
murid-muridnya. Sifat ini banyak gunanya bagi seorang guru, antara lain ia akan
tetap memikat perhatian anak-anak pada waktu mengajar, anak-anak tidak lekas
bosan dan merasa lelah.
Humor hendaklah jangan
digunakan untuk menjajah atau menguasai kelas sehingga dengan humor itu guru
menjadi bertele-tele, melantur, lupa akan apa yang seharusnya diberikan dalam
pelajaran itu. Yang penting lagi ialah humor dapat mendekatkan guru dengan
murid-muridnya, seolah-olah taka da perbedaan umur, kekuasaan dan perseorangan.
Mereka merupakan suatu kesatuan, merasakan kesenangan dan pengalaman
bersama-sama.
Dilihat dari sudut psikologi, setiap orang atau
manusia mempunyai dua naluri (insting) : (1) naluri untuk berkelompok, (2)
naluri suka bermain-main bersama. Kalau kedua naluri itu dapat kita pergunakan
dengan bijaksana dalam tiap-tiap mata pelajaran, hasilnya akan baik dan
berlipat ganda.
6.
Bersikap Baik terhadap Guru-guru Lainnya
Anak-anak tidak dididik oleh
seorang guru saja atau oleh seorang saja. Demikian pula di sekolah, kerjasama
antara guru-guru itu sangat penting. Tingkah laku dan budi pekerti anak-anak
sangat banyak dipengaruhi oleh suasana di kalangan guru-guru. Jika guru-guru
saling bertentangan, tidak mungkin dapat diambil sikap dan tindakan yang sama.
Anak-anak tidak tahu apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang.
Terhadap anak-anak, setiap
guru harus menjaga nama baik dan kehormatan teman sejawatnya. Bertindaklah
bijaksana jika ada anak-anak atau kelas yang mengadukan kekurangan atau
keburukan seorang guru kepada guru lain. Sifat seorang guru yang suka mengejek
atau menjelekkan guru lain di depan murid-muridnya, merupakan suatu sikap yang
tidak dapat di puji dan dibenarkan. Tentu saja bagaimana suasana pergaulan
guru-guru di suatu sekolah, sebagian besar bergantung pula kepada sikap dan
kebijaksanaan kepala sekolah.
7.
Bersikap Baik terhadap Masyarakat
Sekolah hendaknya menjadi
cermin bagi masyarakat sekitarnya, dirasai oleh masyarakat bahwa sekolah itu
adalah kepunyaannya dan memenuhi kebutuhan mereka. Sekolah akan tetap asing
bagi rakyat jika guru-gurunya memencilkan diri seperti siput dalam rumahnya,
tidak suka bergaul atau mengunjungi orang tua murid, memasuki perkumpulan-perkumpulan
atau turut membantu kegiatan masyarakat yang penting dalam lingkungannya.
8.
Benar-benar Menguasai Mata Pelajarannya
Mengapa guru harus memiliki
pengetahuan yang banyak dan selalu menambah pengetahuannya? Bukanlah cukup
dengan pengetahuan yang akan diberikan kepada murid-muridnya saja. Jawabnya
tidak sukar. Guru tidak bileh tradisional. Guru bukannya mesin yang dapat
memberikan pengajaran tiap-tiap tahun dengan cara yang sama dan tentang
pengetahuan yang itu-itu saja. Dunia makin maju, kebudayaan manusia pun berubah
dan bertambah.
Pikiran manusia tidak terbatas. Yang kita
ketahui hanyalah batas bahasan yang harus diberikan kepada anak-anak, sesuai
dengan umur dan kecerdasannya.
9.
Suka Kepada Mata Pelajaran yang Diberikannya
Mata pelajaran di SD/Madrasah
yang banyak macamnya itu biasanya diajarkan oleh seorang guru saja. Biarpun
demikian, tiap-tiap guru hendaklah berusaha supaya menyukai pelajaran-pelajaran
yang diberikan kepada murid-muirdnya. Mengajarkan mata pelajaran yang
disukainya hasilnya lebih baik dan mendatangkan kegembiraan baginya daripada
sebaliknya.
10.
Berpengalaman Luas
Selain mempunyai pengetahuan
yang dalam tentang mata pelajaran yang sudah menjadi tugasnya, akan lebih baik
lagi jika guru itu mengetahui pula tentang segala sesuatu yang penting-penting,
yang ada hubungannya dengan tugasnya di dalam masyarakat. Guru haruslah seorang
yang mempunyai perhatian intelektual yang luas dan yang tidak kunjung padam.
Pekerjaan guru berlainan dengan pegawai kantor lainnya. Para guru hendaknya dapat
melihat lebih banyak lagi, memiliki lebih banyak lagi dan mengerti lebih banyak
daripada orang-orang lain di dalam masyarakat tempat ia hidup. Pendeknya, ia
harus mengetahui lebih banyak tentang dunia ini.
ALAT-ALAT PENDIDIKAN
|
Di
dalam pendidikan, usaha-usaha atau perbuatan-perbuatan si pendidik yang
ditujukan untuk melaksanakan tugas mendidik itu disebut juga alat-alat pendidikan. Dalam memilih
alat-alat pendidikan manakah yang baik dan sesuai, haruslah memperhatikan empat
syarat yang berikut[7]
:
1.
Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan alat itu
2.
Siapa (pendidik) yang menggunakan alat itu
3.
Anak (si terdidik) yang mana yang dikenai alat itu
4.
Bagaimana menggunakan alat itu
Adapun
alat-alat pendidikan yang sangat penting yang akan dibicarakan dalam materi ini
adalah :
1.
Pembiasaan dan pengawasan
2.
Perintah dan larangan
3.
Ganjaran dan hukuman
A.
PEMBIASAAN
Pembiasaan adalah salah satu alat pendidikan yang penting
sekali, terutama bagi anak-anak yang masih kecil. Anak-anak dapat menurut dan taat
kepada peraturan-peraturan dengan jalan membiasakannya dengan
perbuatan-perbuatan yang baik, di dalam rumah tangga atau keluarga, di sekolah
dan juga ditempat lain. Pembiasaan yang baik penting artinya bagi pembentukan
watak anak-anak, dan juga terus berpengaruh kepada anak itu sampai hari tuanya.
Suapaya pembiasaan itu dapat lekas tercapainya dan baik
hasilnya, harus memenuhi beberapa syarat tertentu antara lain :
1.
Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi
sebelum anak itu mempunyai kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang
akan dibiasakan
2.
Pembiasaan itu hendaklah terus-menerus
(berulang-ulang) dojalankan secara teratur sehingga akhirnya menjadi suatu
kebiasaan yang otomatis. Untuk itu, dibutuhkan pengawasan
3.
Pendidikan hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan
tetap teguh terhadap pendiriannya yang telah diambilnya. Jangan memberi
kesempatan kepada anak untuk melanggar pembiasaan yang telah ditetapkan itu.
4.
Pembiasaan yang mula-mulanya mekanistis itu harus
makin menjadi pembiasaan yang disertai kata hati anak itu sendiri
B.
PENGAWASAN
Pembiasaan yang baik membutuhkan pengawasan. Demikian pula,
aturan-aturan dan larangan-larangan dapat berjalan dan ditaati dengan baik jika
disertai dengan pengawasan yang terus-menerus. Perkataan terus-menerus di sini
dimaksudkan bahwa mendidik hendaklah konsekuen, apa yang telah dilarang
hendaknya selalu dijaga jangan sampai dilanggar dan apa yang telah
diperintahkan jangan sampai diingkari.
Pengawasan itu penting sekali dalam mendidik anak-anak. Tanpa
pengawasan berarti membiarkan anak berbuat sekehendaknya, anak tidak akan dapat
membedakan yang baik dan yang buruk dan harus dilaksanakan, mana yang
menbahayakan dan mana yang tidak.
Dalam hal ini harus ada perbandingan antara pengawasan dan
kebebasan. Tujuan mendidik adalah membentuk anak supaya akhirnya dapat berdiri
sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas perbuatannya, mendidik kea rah
kebebasan. Makin besar anak itu makin dikurangi pengawasan terhadapnya dan
sebaliknya makin diperbesar kebebasan yang diberikan kepadanya.
C.
PERINTAH
Tiap-tiap perintah dan peraturan dalam pendidikan mengandung
norma-norma kesusilaan, jadi bersifat memberi arah atau mengandung tujuan kea
rah perbuatan susila. Kita dapat mengatakan bahwa dalam berbagai hal, dalam
pendidikan, contoh atau teladan dari si pendidik merupakan alat
pendidikan yang sangat penting pula, bahkan yang utama sekali. Dari pelajaran
ilmu jiwa anak kita telah mengetahui bahwa sejak kecilnya manusia itu
lebih-lebih anak-anak telah mempunyai dorongan meniru dan suka mengidentifikasi
diri terhadap perbuatan dan tingkah laku orang lain, terutama terhadap orang
tuanya atau gurunya.
Juga segala alat pendidikan yang lain, seperti perintah,
larangan, nasihat dan hukuman, berhasil tidaknya sangat bergantung kepada contoh
teladan yang diberikan si pendidik itu sendiri. Contoh teladan dari seorang
pendidik, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, sering lebih meresap
ke dalam hati sanubari anak-anak daripada perintah atau larangan yang diberikan
kepada anak-anak itu.
Syarat-Syarat Memberi Perintah :
Supaya perintah-perintah yang dilancarkan oleh si pendidik
terhadap anak didiknya dapat diaati sehingga dapat tercapai apa yang dimaksud,
hendaklah perintah-perintah itu memenuhi syarat-syarat tertentu.
1.
Perintah hendaklah tertang dan singkat, jangan terlalu
banyak komentar, sehingga mudah dimengerti anak
2.
Perintah hendaklah disesuaikan dengan keadaan dan umur
anak sehingga jangan sampai memberi perintah yang tidak mungkin dikerjakan oleh
anak itu.
3.
Kadang-kadang perlu pula kita mengubah perintah itu
menjadi suatu perintah yang lebih bersifat permintaan sehingga tidak terlalu
keras kedengarannya.
4.
Janganlah terlalu banyak dan berlebih-lebihan memberi
perintah, sebab dapat mengakibatkan anak itu tidak patuh, tetapi menentang.
Pendidik hendaklah hemat akan perintah
5.
Pendidik hendaklah konsekuen terhadap apa yang telah
diperintahkannya. Suatu perintah yang harus ditaati oleh seorang anak, berlaku
pula bagi anak yang lain
6.
Suatu perintah yang bersifat mengajak, si pendidik
turut melakukannya, umumnya lebih ditaati oleh anak-anak dan dikerjakannya
dengan gembira.
D.
LARANGAN
Seorang anak yang selalu dilarang dalam segala perbuatan dan
permainannya sejak kecil, dapat terhambat perkembangan jasmani dan rohaninya. Dapat
mengakibatkan bermaca-macam sifat atau sikap yang kurang baik pada anak itu,
seperti :
1.
Keras kepala atau melawan
2.
Pemalu dan penakut
3.
Perasaan kurang harga diri
4.
Kurang mempunyai perasaan tanggung jawab
5.
Pemurung atau pesimis
6.
Acuh tak acuh terhadap sesuatu (apatis) dan sebagainya
Maka dari itu, janganlah pendidik terlalu banyak (obral)
melarang perbuatan anak-anak. Bagi anak-anak yang masih kecil, sering lebih
berhasil dengan mengubah larangan itu menjadi suruhan atau perintah.
Apakah syarat-syarat yang harus
diperhatikan dalam melakukan larangan itu?
Ada
beberapa hal yang perlu di ingat :
1.
Sama halnya dengan perintah, larangan itu harus
diberikan dengan singkat, supaya dimengerti maksud larangan itu
2.
Jika mungkin, larangan itu dapat diberi penjelasan
singkat. Jika tidak mungkin, anak harus menerima saja larangan itu (bilamana?)
3.
Jangan terlalu sering melarang, akibatnya tidak baik
4.
Bagi anak-anak yang masih kecil, larangan dapat
dicegah dengan membelokkan perhatian anak kepada sesuatu yang lain yang menarik
minatnya
E.
GANJARAN
1.
Maksud Ganjaran
Apakah maksud pendidik memberi ganjaran kepada anak didiknya?
Jawaban pertanyaan itu tidak sukar. Ganjaran adalah salah satu alat pendidikan.
Jadi, dengan sendirinya maksud ganjaran itu ialah sebagai alat untuk mendidik anak-anak
supaya anak dapat merasa senang karena perbuatan atau pekerjaannya mendapat
penghargaan.
Pendidik bermaksud juga supaya dengan ganjaran itu anak
menjadi lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau mempertinggi prestasi
yang dapat dicapainya. Dengan kata lain, anak menjadi lebih keras kemauannya
untuk bekerja atau berbuat yang lebih baik lagi. Jadi, maksud ganjaran itu yang
terpenting bukanlah hasilnya yang dicapai seorang anak, melainkan dengan hasil
yang telah dicapai anak itu pendidik bertujuan membentuk kata hati dan kemauan
yang lebih baik dan lebih keras pada anak itu.
2.
Ganjaran dan Upah
Siapakah yang berhak mendapat ganjarab? Jika ganjaran itu
ialah alat mendidik, ganjaran tidak boleh menjadi bersifat sebagai upah. “Upah”
ialah sesuatu yang mempunyai nilai sebagai “ganti rugi” dari suatu pekerjaan
atau suatu jasa. “Upah” adalah sebagai pembayar suatu tenaga, pikiran atau
pekerjaan yang telah dilakukan oleh seseorang. Besar-kecilnya upah memiliki
perbandingan yang tertentu dengan berat ringannya pekerjaan atau banyak
sedikitnya hasil yang telah dicapai.
Sedangkan ganjaran sebagai alat pendidikan tidak demikian
halnya. Belum tentu anak yang terpandai atau terbaik pekerjaannya di sekolah
mendapat ganjaran dari gurunya. Seorang anak yang memang pandai dan selalu
menunjukkan hasil pekerjaan yang baik, tidak perlu selalu mendapat ganjaran.
Sebab, jika demikian halnya, ganjaran itu sudah berubah sifatnya menjadi
“upah”.
Jika ganjaran itu sudah berubah sifat menjadi upah, ganjaran
itu tidak lagi bernilai mendidik. Anak mau bekerja giat dan berlaku baik karena
mengharapkan upah. Jika tidak ada upah atau sesuatu yang diharapkannya, mungkin
anak itu berbuat “seenaknya” saja.
3.
Macam-macam Ganjaran
Untuk menentukan ganjaran macam apakah yang baik diberikan
kepada anak merupakan suatu hal yang sangat sulit. Sebagai contoh kami berikan
di sini beberapa macam perbuatan atau sikap pendidik yang dapat merupakan
ganjaran bagi anak didiknya :
a.
Guru mengangguk-angguk tanda senang dan membenarkan
suatu jawaban yang diberikan oleh seorang anak.
b.
Guru memberi kata-kata yang menggembirakan (pujian)
c.
Pekerjaan dapat juga menjadi suatu ganjaran
d.
Ganjaran yang ditujukan kepada seluruh kelas sering
sangat perlu. Ganjaran untuk seluruh kelas dapat juga berupa bernyanyi atau pergi
berdarmawisata
e.
Ganjaran dapat juga benda-benda yang menyenangkan dan
berguna bagi anak-anak. Tetapi, dalam hal ini guru harus sangat berhati-hati
dan bijaksana sebab-dengan benda-benda itu mudah benar ganjaran berubah menjadi
“upah” bagi murid-murid.
4.
Syarat-syarat Ganjaran
Ada
beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh pendidik :
a.
Untuk memberi ganjaran yang pedagogis perlu sekali guru mengenal betul-betul murid-muridnya
dan tahu menghargi dengan tepat. Ganjaran dan penghargaan yang salah dan tidak
tepat dapat menbawa akibat yang tidak diinginkan
b.
Ganjaran yang diberikan kepada seorang anak janganlah hendaknya menimbulkan rasa cemburu
atau iri hati bagi anak yang lain yang merasa pekerjaannya juga lebih baik,
tetapi tidak mendapat ganjaran
c.
Memberi ganjaran hendaklah hemat. Terlalu kerap atau terus-menerus memberi ganjaran dan
penghargaan akan menjadi hilang arti ganjaran itu sebagai alat pendidikan.
d.
Janganlah memberi ganjaran dengan menjanjikan lebih dahulu sebelum anak-anak menunjukkan prestasi
kerjanya apalagi bagi ganjaran yang dahulu, hanyalah akan membuat anak-anak
berburu-buru dalam bekerja dan akan membawa kesukaran-kesukaran bagi beberapa
orang anak yang kungan pandai.
e.
Pendidik harus berhati-hati memberikan ganjaran,
jangan sampai ganjaran yang diberikan kepada anak-anak diterimanya sebagai upah
dari jerih payah yang telah dilakukannya.
5.
Beberapa Pendapat tentang Ganjaran
Sebagian ahli didik menyetujui dan menganggap penting
ganjaran itu dipakai sebagai alat untuk membentuk kata hati anak-anak. Adapula
ahli-ahli yang tidak suka sama sekali menggunakan ganjaran itu. Mereka
berpandapat bahwa ganjaran itu dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat
pada murid-murid. Menurut pendapat mereka, pendidik hendaklah mendidik
anak-anak supaya mengerjakan dan berbuat yang baik dengan tidak mengharapkan
pujian atau ganjaran, tetapi semata-mata karena pekerjaan atau perbuatan itu
memang kewajibannya.
Pendapat yang ketiga dan yang terbaik terletak di
antara kedia pendapat yang bertentangan tersebut di atas. Seorang pendidik
hendaknya menginsafi bahwa yang dididik adalah anak, yang masih lemah
kemauannya dan belum mempunyai kata hati seperti orang dewasa. Dari mereka
belumlah dapat dituntut supaya mereka mengerjakan yang baik dan meninggalkan
yang buruk atas kemauan dan keinsafannya sendiri,
Jika kita mengingat akan kenyataan bahwa manusia
menurut alamnya lekas merasa berbesar hati jika mendapat pujian dan sanjungan,
juga mempunyai bermacam-macam dorongan yang sering berguna bagi perkembangan
pribadinya, maka tidak hanya anak-anak membutuhkan penghargaan atau ganjaran,
tetapi orang dewasa pun demikian pula. Tetapi sebaliknya, pendidik hendaklah
menginsafi pula bahwa tujuan pendidikan ialah membawa anak dalam pertumbuhannya
menjadi manusia yang tahu akan kewajiban, mau mengerjakan dan berbuat yang baik
bukan karena mengharapkan suatu pujian atau ganjaran. Maka dari itu, dalam
memberikan anjaran, pendidik hendaklah selalu ingat akan syarat-syarat
ganjaran. Janganlah sembarangan memberi ganjaran. Jika taka da alas an yang
dapat dipertanggungjawabkan, tidak baik memberi ganjaran.
6.
Hukuman
a.
Apakah
hukuman itu ?
Hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan
dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru dan sebagainya) sesudah terjadi
suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan.
Sebagai
alat pendidikan, hukuman hendaklah :
1)
Senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran
2)
Sedikit banyaknya selalu bersifat tidak menyenangkan
3)
Selalu bertujuan ke arah perbaikan, hukuman itu
hendaklah diberikan untuk kepentingan anak itu sendiri
Catatan :
Dalam
batasan di atas dikatakan bahwa penderitaan itu diberikan dengan sengaja. Sebenarnya, ada pula penderitaan yang tidak
disengaja, seoerti orang atau anak
tersayat jarinya ketika bermain dengan pisau. Hukuman yang demikian disebut hukuman alam, dan dapat dikatakan
hukuman yang tidak bersifat pendidikan.
b.
Hukuman dan
ganjaran
Disamping perbedaannya yang jelas antara pengertian “hukuman”
dan “ganjaran” di dalam proses pendidikan kedua pengertian itu mengandung pula
persamaan.
Kedua-duanya merupakan reaksi
dari si pendidik atas perbuatan yang telah dilakukan oleh anak didik. Hukuman
dijatuhkan atas perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang baik yang telah
dilaksanakannya. Kedua-duanya merupakan alat pendidikan.
Di dalam proses pendidikan, akibat hukuman itu jauh lebih
besar daripada akibat yang ditimbulkan oleh ganjaran. Demikian pula dalam
proses pendidikan, hukuman itu suatu perlakuan yang jauh lebih penting daripada
ganjaran. Setiap orang bebas memberi ganjaran kepada orang tua atau anak lain,
tetapi tidak setiap orang bebas menghukum orang atau anak lain.
Menghukum itu suatu perbuatan yang tidak bebas, tidak dapat
dilakukan sewenang-wenang atau semaunya menurut kehendak seseorang. Hukuman
bukanlah soal perseorangan, melainkan merupakan soal kemasyarakatan. Menghukum
adalah perbuatan yang selalu mendapat pengawasan (di kontrol), baik oleh
undang-undang dan peraturan maupun oleh masyarakat atau badan-badan
kemasyarakatan yang memang bertugas untuk itu.
c.
Maksud atau
tujuan hukuman dan teori hukuman
Maksud orang memberi hukuman itu bermacam-macam. Hal ini
sangat bertalian erat dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman.
1.
Teori pembalasan
Teori inilah yang tertua. Menurut
teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kelainan dan
pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Tentu saja teori ini tidak boleh
dipakai dalam pendidikan di sekolah.
2.
Teori perbaikan
Menurut teori ini, hukuman diadakan
untuk membasmi kejahatan. Jadi, maksud hukuman itu ialah untuk memperbaiki si
pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi. Teori inilai yang
lebih bersifat pedagogis karena bermaksud memperbaiki si pelanggar, baik
lahiriah maupun batiniahnya.
3.
Teori perlindungan
Menurut teori ini hukuman diadakan
untuk melindungi masyarakat ini, masyarakat dapat dilindungi dari
kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh si pelanggar.
4.
Teori ganti kerugian
Menurut teori ini, hukuman diadakan
untuk mengganti kerugian-kerugian (boete) yang telah diderita akibat dari
kejahatan-kejahatan atau pelanggaran itu. Hukuman ini banyak dilakukan dalam
masyarakat atau pemerintahan.
Dalam proses pendidikan, teori ini
masik belum cukup. Sebab, dengan hukuman semacam itu anak mungkin menjadi tidak
merasa bersalah atau berdosa karena kesalahannya itu telah terbayar dengan
hukuman.
5.
Teori menakut-nakuti
Menurut teori ini, hukuman diadakan
untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang
melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau
meninggalkannya.
Teori ini masih membutuhkan teori
perbaikan. Sebab, dengan teori ini besar kemungkinan anak meninggalkan suatu
perbuatan itu hanya karena takut, bukan karena keinsafan bahwa perbuatannya
memang sesat atau memang buruk. Dalam hal ini anak tidak terbentuk kata
hatinya.
Dari uraian
diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap
karena masing-masing hanya mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi
saling membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain.
Dengan
singkat, dapat kita katakan bahwa tujuan pedagogis dari hukuman ialah untuk
memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik, untuk mendidik anak ke arah
kebaikan.
d.
Akibat
Hukuman
“Dapatkah suatu hukuman yang sama
yang dilaukan oleh seorang pendidik terhadap beberapa orang anak menghasilkan
akibat yang sama pula?” maka jawabannya ialah “belum tentu” dan bahkan “tidak
mungkin”.
Biarpun demikian, tiap-tiap hukuman pedagogis mengandung maksud
yang sama, yakni bertujuan untuk memperbaiki watak dan kepribadian anak didik,
meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan. Namun, hasil atau akibat yang
bermacam-macam dari berbagai hukuman dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1)
Menimbulkan perasaan
dendam pada si terhukum. Ini adalah akibat dari hukuman yang
sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. Akibat semacam inilah yang harus
dihindari oleh pendidik.
2)
Menyebabkan anak menjadi
lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini pun akibat yang tidak baik,
bukan yang diharapkan oleh pendidik.
3)
Memperbaiki
tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang suka bercakap-cakap di dalam kelas,
karena mendapat hukuman, mungkin pada akhirnya berubah juga kelakuannya
4)
Mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, oleh karena kesalahannya dianggap telah dibayar
dengan hukuman yang telah dideritanya.
5)
Akibat yang lain ialah memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.
Biasanya ini adalah akibat dari hukuman normatif.
Sering hukuman yang demikian tidak memperlihatkan akibat yang nyata kelihatan.
e.
Beberapa
Macam Hukuman
Macam-macam hukuman yang akan dibicarakan berikut ini
bukanlah macam-macam usaha atau perlakuan yang dijalankan oleh pendidik dalam
menghukum anak-anak. Dalam hal menghukum tidak ada “buku resep” tertentu yang
telah terbukti kemanjurannya.
Yang dimaksudkan dengan macam-macam hukuman itu ialah yang
berikut ini :
1)
Ada pendapat yang membedakan hukuman itu menjadi 2
macam, yaitu :
(a)
Hukuman
preventif, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau
jangan terjadi pelanggaran. Hukuman ini bermaksud untuk mencegah jangan sampai
terjadi pelanggaran sehingga hal itu dilakukannya sebelum pelanggaran itu
dilakukan. Misalnya seseorang dimasukkan atau ditahan di dalam penjara (selama
menantikan keputusan hakim), karena perkara tersebut ia ditahan preventif dalam
penjara
(b)
Hukuman
represif, yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran,
oleh adanya dosa yang telah diperbuat. Jadi, hukuman ini dilakukan setelah
terjadi pelanggaran atau kesalahan.
2)
William Stern membedakan tiga macam hukuman yang
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu
(a) Hukum asosiatif
Umumnya,
orang mengasosiakan antara hukuman dan kejahatan atau pelanggaran, antara
penderitaan yang diakibatkan oleh hukuman dengan perbuatan pelanggaran yang
dilakukan.
(b) Hukuman logis
Hukuman
ini dipergunakan terhadap anak-anak yang telah agak besar. Dengan hukuman ini,
anak mengerti bahwa hukuman itu adalah akibat yang logis dari pekerjaan atau
perbuatannya yang tidak baik.
(c)
Hukuman normatif
Hukuman
normatif adalah hukuman yang bermaksud memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini
dilakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran mengenai norma-norma etika, seperti
berdusta, menipu dan mencuri.
3)
Disamping pembagian seperti tersebut di atas, hukuman
itu dapat pula dibedakan seperti berikut :
(a) Hukuman alam
Menurut
Rousseau, anak-anak ketika dilahirkan adalah suci, bersih dari segala noda dan
kejahatan. Adapun yang menyebabkan rusaknya anak itu ialah masyarakat manusia
itu sendiri. Maka dari itu, Rosseau menganjurkan supaya anak-anak dididik
menurut alamnya. Demikian pula mengenai hukuman Rousseau menganjurkan hukuman
alam. Biarlah alam yang menghukum anak itu. Jika seorang anak yang bermain air
kotor, kemudian masuk angina dan gatal-gatal itu adalah hukuman alam. Biarkan
anak itu merasakan sendiri akibat yang sewajarnya dari perbuatannya itu
nantinya anak itu akan insaf dengan sendiri.
Mengenai
teori Rousseau tersebut tidak dapat kita menerimanya seluruhnya. Dalam beberapa
hal yang kecil-kecil atau yang ringan-ringan, kadang-kadang ada pula benarnya
teori Rousseau itu. Tetapi, ditinjau secara pedagogus, hukuman alam itu tidak
mendidik, dengan hukuman alam saja anak tidak dapat mengetahui norma-norma
etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan harus diperbuat dan mana yang
tidak, anak tidak dapat berkembang sendiri ke arah yang sesuai dengan cita-cita
dan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Lagi pula, hukuman alam itu ada kalanya
sangat membahayakan anak, bahkan kadang-kadang membinasakannya.
(b) Hukuman yang disengaja
Hukuman ini
sebagai lawan dari hukuman alam. Hukuman macam ini dilakukan dengan sengaja dan
bertujuan. Sebagai contoh ialah hukuman yang dilakukan oleh si pendidik
terhadap anak-anak didiknya, hukuman yang dijatuhkan oleh seorang hakim kepada
si terdakwa atau si pelanggar.
f.
Syarat-syarat
Hukuman yang Pedagogis
Telah dikatakan bahwa hukuman dan menghukum itu bukanlah soal
perseorangan, melainkan mempunyai sifat kemasyarakatan. Hukuman tidak dapat dan
tidak boleh dilakukan sewenang-wenang menurut kehendak seseorang, tetapi
menghukum itu adalah suatu perbuatan yang tidak bebas, yang selalu mendapat
pengawasan dari masyarakat dan Negara. Apalagi hukuman yang bersifat pendidikan
(pedagogis), harus memenuhi syarat-syarat yang tertentu.
Adapun syarat-syarat hukuman yang
pedagogis itu antara lain ialah :
1)
Tiap-tiap hukuman hendaklah dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti bahwa hukuman itu tidak boleh dilakukan
dengan sewenang-wenang. Biarpun dalam hal ini seorang guru atau orang tua agak
bebas menetapkan hukuman mana yang akan diberikan kepada anak didiknya.
2)
Hukuman itu sedapat-dapatnya bersifat memperbaiki. Yang berarti bahwa ia harus mempunyai nilai mendidik
(normative) bagi si terhukum : memperbaiki kelakuan dan moral anak-anak.
3)
Hukuman tidak
boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam yang bersifat perseorangan.
Hukuman yang demikian tidak memungkinakn adanya hubungan baik antara si
pendidik dan yang dididik.
4)
Jangan menghukum pada waktu kita sedang marah. Sebab, jika demikian, kemungkinan besar hukuman itu
tidak adil atau terlalu berat.
5)
Tiap-tiap hukuman harus
diberikan dengan sadar dan sudah diperhitugkan
atau dipertimbangkan terlebih dahulu.
6)
Bagi si terhukum (anak), hukuman itu hendaklah dapat dirasakannya sendiri sebagai
kedudukan atau penderitaan yang sebenarnya. Karena hukuman itu, anak merasa menyesal dan merasa bahwa untuk
sementara waktu ia kehilangan masih sayang pendidiknya.
7)
Jangan
melakukan hukuman badan sebab pada hakikatnya hukuman badan itu dilarang oleh
Negara, tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan merupakan penganiayaan terhadap
sesame makhluk. Lagi pula, hukuiman badan tidak meyakinkan kita adanya
perbaikan pada si terhukum, tetapi sebaliknya hanya menimbulkan dendam atau
sikap suka melawan.
8)
Hukuman tidak
boleh merusakkan hubungan baik antara si pendidik dan anak didiknya. Untuk
ini, perlulah hukuman yang diberikan itu dapat
dimengerti dan dipahami oleh anak.
9)
Sehubungan dengan butir 8 di atas, maka perlulah
adanya kesanggupan memberi maaf dari
si pendidik, sesudah menjatuhkan hukuman dan setelah anak itu menginsafi
kesalahannya. Dengan kata lain, pendidik hendaknya dapat mengusahakan pulihnya
kembali hubungan baik dengan anak didiknya. Dengan demikian, dapat terhindar
perasaan dan atau sakit hati yang meungkin timbul pada anak.
Dengan
singkat dapat dikatakan sebagai berikut :
(a)
Hukuman harus ada hubungannya dengan kesalahan
(b)
Hukuman harus disesuaikan dengan kepribadian anak
(c)
Hukuman harus diberikan dengan adil
(d)
Guru sanggup memberi maaf setelah hukuman itu
dijalankan
Tambahan :
Pendapat Prof. Gunning,
Kohnstamm dan Scheler tentang hukuman adalah “Hukuman itu tiada lain daripada
pengesahan kata hati, atau membangkitkan kata hati”.
Prof.
Langeveld mengatakan bahwa hukuman itu tidak boleh bersifat balas dendam. ”Pendidikan yang miskin akan hukuman, tetapi
banyak anjuran dan teladan yang baik, membuahkan hasil yang baik.[8]
g.
Beberapa
petunjuk praktis
1)
Kita-kita menghukum kesalahan-kesalahan yang
sungguh-sungguh saja, jika bagi kita sudah tidak ada lagi jalan lain.
2)
Hindarkanlah
tindakan mengancam dan menakut-nakuti. Rasa takut terhadap sesuatu dapat
menimbulkan pengaruh yang tidak baik pada jiwa seorang anak. Rasa takut tidak
menginsafkan atau membangkitkan hasrat anak untuk memperbaiki kesalahannya.
3)
Dalam
menghukum, hendaklah kita
berperasaan halus. Sedapat-dapatnya, hukumlah anak itu bila kita berhadapan
sendiri dengan dia. Jangan menghukum waktu kita sedang marah, atau terdorong
oleh keangkugan atau perasaan-perasaan lain.
4)
Dalam
menghukum, hendaklah kita bersikap adil
Ini
berarti bahwa :
-
Kita menghukum tidak membeda-bedakan anak orang
berpangkat, anak orang kaya, anak saudara sendiri dan sebagainya
-
Hukuman yang kita berikan sepadan dengan besarnya
kesalahan
-
Hukuman itu disesuaikan dengan pribadi dan watak anak.
5)
Hukuman dan pelanggaran sedapat-dapatnya harus ada
hubungannya
6)
Hukuman yang kita berikan hendaknya dapat menimbulkan rasa tanggung jawab pada
anak. Ada anak yang lekas insaf dan merasa telah berbuatsalah dan berdosa
setelah mendapat hukuman.
MORAL DAN PERTIMBANGAN MORAL
|
A.
KONSEP MORAL DAN PERTIMBANGAN
MORAL
Keefektifan pendidikan moral di
sekolah diteliti oleh Harshorne dan May pada tahun 1928-1930.[9]
Dari penelitian tersebut ditermukan hal-hal berikut :
1.
Pendidikan watak atau karakter dan
pengajaran agama di kelas tidak mempengaruhi perbaikan perilaku moral
2.
Pendidikan etika yang dilakukan
dengan cara pengklarifikasian nilai, yakni pengajaran tentang aturan-aturan
berperilaku benar dan baik di sekolah sedikit berpengaruh terhadap pembentukan
moral sebagaimana yang dikehendaki
Menurut Freud, Peck, Kohlberg dan
Hoffman temuan penelitian Hartshorne dan May dapat diinterpretasikan bahwa
pendidikan moral di sekolah tidak efektif. Ketidakefektifan itu disebabkan oleh
karakter moral telah dibentuk lebih awal di rumah karena pengaruh orang tua.
Karakter moral juga dianggap sebagai sesuatu yang tidak tetap dan merupakan
emosi mendalam yang keberadaannya tidak konsisten. Seseorang berperilaku amoral
lebih disebabkan oleh factor-faktor situsional dan bukan merupakan hasil
pemikiran yang didasarkan atas pertimbangan moral. Oleh karena itu, perilaku amoral
bukan merupakan refleksi dari pengalaman pendidikan yang berpusat pada
nilai-nilai moral yang diajarkan.[10]
Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa pendidikan moral selama decade
tersebut dinyatakan kurang berhasil, bahkan dianggap gagal, yaitu karena kurang
mengikutsertakan faktor kognitif.
Pendidikan moral yang kurang
mengikutsertakan faktor kognitif oleh Frankena (1971) disebut pendidikan moral
tradisional dan selanjutnya oleh Blasi (1980) dianggap sebagai pendidikan moral
“irasional”.[11]
Ciri utama pendidikan moral tradisional tersebut adalah sifatnya yang
mengandung unsure “indoktrinasi” dan kurang dilakukan melalui proses penalaran.
Perilaku moral dianggap sebagai sesuatu yang ditentukan oleh kecenderungan
bertindak yang dimotivasi oleh sifat perilaku dan kebiasaan. Artinya, perilaku
moral bukan merupakan hasil pertimbangan moral yang berpijak pada konsep nilai
kemanusaiaan dan keadilan.
Suatu perilaku moral dianggap
bernilai moral jika perilaku itu dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri
dan bersumber dari pemikiran moral yang bersifat otonom.
Pendidikan moral bertujuan membina
terbentuknya perilaku moral yang baik bagi setiap orang. Artinya, pendidikan
moral bukan sekedar memahami tentang aturan benar dan salah atau mengetahui
ketentuan baik dan buruk, tetapi harus benar-benar meningkatkan perilaku moral
seseorang. Oleh karena itu, evaluasi keberhasilannya harus menggunakan
perwujudan perilaku moral sebagai ukurannya. Perilaku moral terlalu sempit jika
dibatasi hanya pada perilaku moral objektif yang dapat dilihat karena perilaku
moral secara implisit maupun ekspilisit mencakup beraneka ragam perasaan,
pertanyaan, keraguan, pertimbangan dan keputusan yang kompleks. Oleh karena
itu, perilaku moral meliputi hal-hal yang dapat dilihat maupun hal-hal yang
tidak dapat dilihat. Petimbangan moral dalam menetapkan keputusan moral
merupakan contoh perilaku moral yang tak dapat dilihat, tetapi dapat ditelusuri
lebih lanjut dan ditemukan.
Perilaku moral sebenarnya sesuatu
yang tersembunyi dalam pikiran seseorang karena tersimpan dalam cara
berpikirnya, artinya, untuk mengetahui keadaan moral seseorang yang sebenarnya,
seorang pengamat mungkin bisa tersesat oleh fenomena yang ditunjukkan oleh
perilaku nyata seseorang. Hal ini dikarenakan moral tidak cukup hanya diukur melalui
tindakan moral secara objektif yang bisa diamati, tetapi juga harus dilihat
melalui pertimbangan moral yang bersumber dari pemikiran moralnya. Mengenai
hubungan tingkat petimbangan moral dengan perilaku moral dapat dikaji
berdasarkan temuan-temuan penelitian masa lalu. Kepastian hubungannya penting
diungkap, karena apabila dikembalikan pada prinsip awal, pendidikan moral
menghendaki pengukuran perilaku moral dengan kriterianya.
B.
TEORI PENDIDIKAN MORAL
Pada dasarnya tujuan pendidikan
adalah mengembangkan kemampuan intelektual dan moral.[12]
Prinsip-prinsip psikologi dan etika dapat membantu sekolah untuk meningkatkan
seluruh tugas pendidikan dalam membangun kepribadian siswa yang kuat.
Kirschenbaum menegaskan bahwa untuk mengembangkan moral siswa, tujuan akhir
dari studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) misalnya diarahkan untuk tercapainya
tujuan pendidikan moral. Untuk sampai kepada tujuan tersebut, proses dan tujuan
akhir studi-studi sosial harus bermuara pada terwujudnya moral dalam
mengembangkan kepribadian manusia. Dengan demikian, berbicara mengenai
pendidikan, apapun dan bagaimanapun tidak dapat menghindari tugas pengembangan
moral dan etika.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan
bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan kecakapan siswa
dalam menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau untuk tidak bertindak.
Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai beban dan
tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan moral dan membantu siswa
mengembangkan cara berpikirnya dalam menetapkan keputusan moralitasnya.
Negara yang mengakui agama dan
sekolah agama, maka pendidikan moral disekolah diajarkan melalui pendidikan
agama atau sekolah agama, sedangkan Negara yang tidak mengakui agama,
pendidikan moral diajarkan melalui pendidikan kewarganegaraan atau civics.[13]
Jika berpedoman pada konsep ini, dapat dikatakan bahwa Negara Indonesia
merupakan Negara yang memberikan perhatian cukup besar dalam pembinaan moral.
Hal ini dikarenakan, selain sekolah mengajarkan agama juga sekaligus memberikan
pendidikan moral melalui bidang Studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), IPS dan
Bahasa Indonesia di seluruh jenjang sekolah.
Indonesia merupakan suatu Negara
yang menaruh perhatian besar pada masalah pendidikan moral.[14]
Bersamaan dengan usaha gencar yang dilakukan untuk menanggulangi keboborakan
moral, baik dengan cara preventif maupun represif, masyarakat Indonesia
dihadapkan pada suatu kenyataan masih banyaknya tindakan amoral yang terjadi di
masyarakat. Tindakan dan perilaku amoral seperti korupsi, kenalana remaja,
tawuran dan sejenisnya setiap hari dilaporkan oleh berbagai media massa.
Sejalan dengan itu, Magnis Suseno (1994) menyatakan bahwa korupsi moral kini
telah melanda segala sudut kehidupan birokrasi dan masyarakat, karena itu kita harus
mampu menanggulanginya.
Kecenderungan meningkatnya tindak
amoral dan kejahatan juga dikemukakan oleh Sudrajat (1955), Yudhohusodo (1995),
Lopa (1995), para Kiai Madura yang tergabung dalam BASRA (Badan Silaturrahmi
Ulama Madura) (1955), bahkan juga ditegaskan oleh Presiden Soeharto (1994;995).
Memerhatikan meningkatnyatindak amoral itu, Siswono (1995) menyatakan bahwa
masyarakat kita sekarang ini cenderung aneh karena mereka lebih menghargai
koruptor daripada pekerja yang jujur. Hal demikian juga diakui oleh Lopa (1995)
sebagai sebab lemahnya integritas moral para aparat penegak hukum dan
masyarakat kita.
Berkenaan dengan tugas sekolah yang harus
bertanggung jawab mengenai pendidikan moral, maka tindak amoral selalu
dikaitkan orang dengan sistem pendidikan moral yang dilakukan di sekolah.
Rosjidan (1990) yang penelitiannya menggunakan reponden
siswa, orang tua siswa dan guru mengungkapkan bahwa faktot penyebab adanya
perilaku negatif yang dilakukan para remaja ialah karena kurang efektifnya
pendidikan moral di sekolah.Oleh karena itu, responden
menyarankan agar pendidikan moral di sekolah lebih ditingkatkan dan
diintensifkan.Secara lebih terarah, Lopa (1993) mengungkapkan bahwa perilaku
amoral sebenarnya bukan disebabkan oleh tekanan ekonomi, tetapi lebih
disebabkan oleh faktor moral yang rendah. Tindakan amoral lebih banyak
disebabkan oleh krisis nilai dan kemacetan pertimbangan moral daripada
sebab-sebab yang lain.[15]
Tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia cerdas dan
baik.Oleh karena itu, adanya pendidikan moral di sekolah merupakan suatu hal
yang tak dapat dielakkan. Ini berarti, tugas lembaga pendidikan
bukan hanya membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan intelektual, tetapi
sekaligus meningkatkan kemampuan mengembangkan cara berpikir tentang moralitasnya.
Melalui program pendidikan formal, pemerintah berusaha
membina dan mengembangkan pendidikan moral di
sekolah. Ryan (1985) mengemukakan tiga teori tentang usaha menumbuhkan dan
mengembangkan moral, yaitu (1) teori perkembangan kognitif, (2) teori belajar
sosial dan (3) teori psikoanalitik.
1.
Teori Perkembangan Kognitif
Teori perkembangan kognitif, pada awalnya teori ini
dikemukakan oleh Dewey, dilanjutkan Piaget dan disempurnakan oleh Kohlberg,
Damon, Mosher.Perry dan lain-lain (Ryan, 1985:34070).Menurut teori ini, moral
manusia tumbuh dan berkembang –tahap sesuai dengan urutan tahap-tahap
perkembangan berdasarkan tingkat pertimbangan moral.
Dasar pemikiran moral berlandas pada filsafat moral yang
mengacu pada prinsip-prinsip keadilan, konsep-konsep persamaan dan saling
terima, sebagai moralitas (Ryan, 1985:3413). Piaget menganggap bahwa pendidikan
moral dapat dilihat melalui dua cara. Pertama,
pandangan yang beranggapan bahwa siswa adalah entitas pencari stimulus dan
bukan merupakan makhluk yang secara keseluruhan belajar melalui pengkodisian.Kedua, Piaget menyatakan bahwa kajian
perkembangan moral merupakan satu bidang dengan kajian perkembangan
intelektual.
2.
Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
Teori ini bersumber dari ajaran empirisnya Locke dan teori
behaviorismenya Watson dan Skinner, yang memandang hakikat manusia seperti
kertas kosong (blank slate) yang siap
ditulisi masyarakat dan membentuk pengalamannya.
3.
Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik yang bersumber dari ajaran Freud ini memandang
hakikat manusia sebagai makhluk yang dikendalikan oleh hati nurani dan sulit di
kontrol.Agen-agen masyarakat, khususnya orang tua harus turut campur tangan
dalam menentukan dan membentuk perilaku anak untuk kebaikan individu dan
masyarakatnya.Perilaku manusia termasuk perilaku moral ditentukan oleh tiga
faktor yang terdapat dalam diri seseorang, yaitu id, ego dan super-ego.Id
adalah sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong individu untuk
berperilaku mengikuti nafsu (animalistic
urges and desire), ego merupakan
penentu terbentuknya perilaku riil, sedangkan super-ego sebagai pengembang elemen pendorong dan berfungsi sebagai
agen pengendali yang memberikan pertimbangan kepada individu tentang perilaku
salah dan mengontrol apakah hal itu baik atau tidak (Ryan, 1985:3408).
C. TUJUAN PENDIDIKAN MORAL
Kohlberg
(1971) menekankan tujuan pendidikan moral adalah merangsang perkembangan
tingkat pertimbangan moral siswa. Kematangan pertimbangan moral jangan diukur
dengan standar regional, tetapi hendaknya diukur dengan pertimbangan moral yang
benar-benar menjunjung nilai kemanusiaan yang bersifat universal, berlandaskan
prinsip keadilan, persamaan dan saling terima. [16]
Lebih
khusus Maritain (dalam Frankena, 1971) menegaskan bahwa tujuan pendidikan moral
adalah terbentuknya kejujuran dan kebebasan mentak spiritual. Lebih lanjut,
Frankena mengemukakan lima tujuan pendidikan moral sebagai berikut :
1.
Mengusahakan suatu pemahaman “pandangan moral” ataupun
cara-cara moral dalam mempertimbangkan tindakan-tindakan dan penetapan
keputusan apa yang seharusnya dikerjakan, seperti membedakan hal estetika,
legalitas atau pandangan tentang kebijaksanaan
2.
Membantu mengembangkan kepercayaan atau pengadopsian
satu atau beberapa prinsip umum yang fundamental, ide atau nilai sebagai suatu
pijakan atau landasan untuk pertimbangan moral dalam menetapkan suatu
keputusan.
3.
Membantu mengembangkan kepercataan pada dan atau
mengadopsi norma-norma konkret, nilai-nilai, kebaikan-kebaikan seperti pada
pendidikan moral tradisional yang selama ini dipraktikkan.
4.
Mengembangkan suatu kecenderungan untuk melakukan
sesuatu yang secara moral baik dan benar
5.
Meningkatkan pencapaian refleksi otonom, pengendalian
diri atau kebebasan mental spiritual, meskipun itu didasari dapat membuat
seseorang menjadi pengkritik terhadap ide-ide dan prinsip-prinsip dan
aturan-aturan umum yang sedang berlaku
Kemudian, mengapa keputusan moral harus didasarkan
pada prinsip universal dan prinsip keadilan?Jawabannya ialah, karena
keputusan tersebut dapat diterima oleh semua orang. Jika keputusan moral
didasarkan pada aturan moral konkret, akan banyak manusia yang tidak mau
menerima sebab keputusan demikian itu melekat pada sistem yang mendatangkan
konflik dan tergantung pada kultur dan posisi sosial. Dengan demikian, tujuan
akhir dari pendidikan moral adalah prinsip keadilan.[17]
D. MORAL DALAM PEMBELAJARAN
Dalam
melaksanakan pembelajaran, sangat diperlukan etika dan moral yang sesuai dengan
standar umum. Dari pernyataan ini mungkin akan timbul pertanyaan :Mengapa kita harus bermoral? Mengapa kita
harus mengambil bagian dalam kehidupan lembaga moral?Mengapa kita harus
mengambil sudut pandang moral?Motivasi untuk bertindak apakah secara moral
dianggap baik?Apakah tindakan untuk melakukan keadilan dapat disebut baik
secara moral? Bagaimanakah motivasi untuk mengadopsi cara pandang moral dan
kebijaksanaan lain yang menguraikan lembaga moral? Adakah keadilan moralitas
dan sudut pandang moral?Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengandung
kebijaksanaan dan pola berpikir yang didasarkan pada moral.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat ditujukan kepada guru di sekolah yang
tugasnya sarat dengan muatan moral, sehingga tindakan yang dilakukan olehnya
harus selalu mengacu pada moral, utamanya dalam hubungannya dengan kegiatan
pembelajaran.
Setiap
pembelajaran adalah masalah moral.Bagaimana
seharusnya saya membelajarkan siswa? Kita dapat berharap bahwa pembelajaran
yang kreatif akan berbeda dengan pembelajaran lainnya dalam hal mengasosiakan
hubungan moral dalam proses pembelajaran secara tepat dan memadai. Mungkin
kesalahan yang banyak dilakukan oleh guru ialah usaha berbentuk jalan pintas
langsung menuju tujuan pembelajaran tanpa memerhatikan implikasi moral dari
proses pembelajarannya bagi siswa.
Sebelum
menjadi seorang guru, sebaiknya seseorang dengan kritis dan jujur menilai diri
sendiri. Apakah secara moral kemauannya cukup kuat dan bersedia
memikul tanggung jawab untuk membantu orang lain? Oleh karena itu, sebaiknya
tanyakanlah kepada diri sendiri “Apakah
yang saya harapkan dari kegiatan pembelajaran yang saya lakukan?”, “Kepuasan
dan imbalan apakah yang mungkin saya peroleh dalam membelajarkan orang lain?”
Meskipun alasan guru untuk membantu membelajarkan orang lain, tetapi tidak
selamanya murni dan benar-benar bersifat menguntungkan orang lain. Dalam hal
ini, setiap guru hendaknya selalu terbuka dan menyadari dorongan yang mendasari
tindakannya dan moralitas para siswanya.
Beberapa
guru barangkali menginginkan adanya hubungan yang akrab dengan siswanya, tetapi
tidak berhasil membina hubungan seperti itu dalam suasana hubungan antarpribadi.Dalam hal
ini guru dapat menetapkan suatu prinsip dasar bahwa salah satu tujuan
pembelajatran yang berhasil ialah penyesuaian moral secara kosntruktif terhadap
kehidupan.
Untuk menjadi
guru yang beretika, guru dapat mengajukan sebuah pertanyaan yang mendasar
tentang etika :“Bagaimanakah seharusnya
saya menjalani hidup?” sebagaimana halnya kehidupan lain, kehidupan moral
pun dimulai dengan pengekspresian diri seseorang, seperti ekspresi hasrat,
dorongan insting, keinginan dan bentuk-bentuk internal lainnya. Moralitas
berarti ekspresi diri dalam konteks yang terstruktur.Bagaimanapun, hal yang
perlu ditekankan di sini ialah bahwa tanpa ekspresi diri, tidak ada isi
kehidupan moral.
Guru dalam
membelajarkan siswa perlu memberi kebebasan guna menempuh sebuah jalan hidup
yang memunginkan mereka menjadi pribadi yang utuh. Pribadi seperti itu akan
diperlukan untuk menghindari tekanan yang berlebihan pada sukses finansial,
yang dapat menimbulkan persaingan materi dan sikap berpamrih belaka dan
berakibat pada hilangnya nilai manusiawi pada suatu bidang studi. Akhirnya akan
mengaburkan nilai dan tujuan hakiki pendidikan yang telah di cita-citakan.
Untuk
menghindari penyimpangan moral, guru harus berperan sebagai pembelajar
sekaligus sebagai pendidik dan melaksanakan pembelajaran untuk mengubah cara
siswa memandang dirinya sendiri dan makhluk insani lain, sistem sosial dan
struktur masyarakat ke arah yang sesuai dengan tujuan [endidikan. Jika
berhasil, pembelajaran akan mampu mengubah secara radikal cara berpikir moral
siswa sehingga siswa berkompeten, bertanggung jawab dan penuh perhatian pada
semuanya. Untuk itu, guru perlu menciptakan persyaratan, meletakkan dasar moral
yang yang baik, dan menyediakan kesempatan interaksi antarguru dan siswa secara
terus-menerus untuk berbagai pengalaman dan pengetahuan.
Kompetensi
personal ialah kualitas kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar
dapat menjadi guru yang baik.Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi
yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan
perwujudan diri.Kompetensi professional
ialah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan diri sebagai
guru professional.Kompetensi professional meliputi aspek kepakaran atau
keahlian dalam bidangnya, yaitu penguasaan materi yang harus diajarkan beserta
metodenya, rasa tanggung jawab pada tugasnya dan rasa kebersamaan dengan
sejawat guru lainnya. Perwujudan dari kinerja guru pada proses pembelajaran
ditandai dengan : a) keinginan untuk menampilkan tingah laku yang
sebaik-baiknya, b) senantiasa memelihara dan meningkatkan citra keguruannya, c)
senantiasa berusaha mengembangkan diri, d) mengejar kualitas profesi, e)
memiliki kebanggan terhadap profesinya, kompetensi sosial ialah kemampuan yang
diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain.
Kompetensi intelektual ialah
penguasaan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan tugasnya sebagai
guru.Kompetensi spiritual ialah kualitas keimanan dan ketaqwaan sebagai orang
yang beragama, seperti jujur, sportif, dapat dipercaya, disiplin, rapi, bersih,
sabar, ulet, tekun, bekerja keras, berkasih sayang dan sejenisnya. Moral
pembelajaran juga akan dapat diwujudkan dengan baik apabila guru memiliki
kepribadian yang menunjang dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.
Kepribadian guru tidak hanya menjadi dasar baginya untuk bertingkah laku yang
bermoral, tetapi juga sekaligus menjadi model keteladanan bagi para siswanya
untuk di contoh dan dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai moral.
E. MENYIKAPI DAN MELAKSANAKAN ETIKA DAN MORAL
DALAM PEMBELAJARAN
Sebagai seorang professional, guru harus memahami apa
etika dan moral pembelajaran itu? Mengapa etika dan moral pembelajaran itu
diperlukan? Serta bagaimana caramenyikapi dan melaksanakan etika dan moral
dalam melaksanakan proses pembelajaran?
Vandzandt
(1990) mengemukakan bahwa kualitas professional ditunjukkan oleh lima unjuk
kerja, yaitu 1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati
standar idela, 2) meningkatkan dan memelihara citra profesi, 3) keinginan untuk
senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesi pengetahuan dan
keterampilan, 4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi dan 5) memiliki
kebanggan terhadap profesi. Disamping itu, sesuai dengan tugas guru dalam
pengelolaan pembelajaran yang meliputi 1) membangun hubungan baik dengan siswa,
2) menggairahkan minat, perhatian dan memperkuat motivasi belajar, 3)
mengorganisasi belajar, 4) melaksanakan pendekatan secara tepat, 5)
mengevaluasi hasil belajar secara jujur dan objektif dan 6) melaporkan hasil
belajar siswa kepada orang tuanya yang berguna bagi orientasi masa depan siswa.
Penyikapan
pada umumnya mengandung unsur-unsur kognisi, afeksi dan perlakuan terhadap
objek yang disikapinya (Prayitno dan Erman, 1999).Unsur kognisi mengacu pada
wawasan, keyakinan, pemahaman, pertimbangan dan pemikiran guru tentang hakikat
siswa, pengaruh lingkungan dan hakikat pembelajaran. Unsur-unsur kognisi yang
mendasari penyikapan terhadap etika dan moral pembelajaran antara lain sebagai
berikut.
1.
Keyakinan bahwa siswa sebagai makhluk sosial yang sedang
berkembang sarat dengan masalah etika dan moral.
2.
Pemahaman bahwa dalam proses pembelajaran siswa dapat
belajar dari berbagai macam sumber, termasuk guru yang penuh dengan muatan
etika dan moral.
3.
Pemahaman bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh guru
mampu memberikan manfaat siswa karena
didasarkan pada etika dan moral pembelajaran
4.
Pertimbangan dan pemikiran yang cermat, jernih,
teliti, manusiawi dan penuh tanggung jawab dan dilandasi etika moral akan mampu
membelajarkan siswa menuju pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Unsur-unsur
kognisi tersebut di atas dapat diturunkan ke dalam bentuk pola perilaku
afektif, misalnya sebagai berikut.
1.
Memberikan penghargaan dan penghormatan yang
setinggi-tingginya terhadap kehidupan manusia yang penuh muatan etika dan
moral, baik sebagai individu maupun anggota kelompok
2.
Memiliki komitmen yang tinggi untuk menerapkan etika
dan moral pembelajaran dalam proses pembelajaran sebagai upaya untuk mewujudkan
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
3.
Berupaya sesuai dengan keahlian yang dimiliki, ikut
mengimplementasikan dan mengembangkan secara optimal etika dan moral
pembelajaran pada siswa secara professional dalam proses pembelajaran.
4.
Berusaha seoptimal mungkin menerapkan keahlian yang
dimiliki untuk membelajarkan siswa dengan dilandasi oleh etika dan moral
pembelajaran dengan cara setepat mungkin.
5.
Bersikap positif terhadap pentingnya etika dan moral
pembelajaran dan diwujudkan dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran
6.
Dengan penuh kesadaran mengembangkan wawasan, ide, strategi,
teknik serta menerapkan etika dan moral pembelajaran secara tepat bagi siswa
yang menjadi subjek utama pembelajaran.
Penyikapan
secara afeksi tersebut lebih lanjut dapat secara nyata diwujudkan dalam bentuk
perlakuan terhadap siswa. Bentuk-bentuk perlakuan tersebut antara lain sebagai
berikut.
1.
Membelajarkan siswa yang dipercayakan kepadanya dengan
penuh tanggung jawab dan dilandasi etika dan moral pembelajaran.
2.
Mengembangkan wawasan tentang dan moral pembelajaran
secara rinci dalam pola perilaku guru terhadap siswa
3.
Mengembangkan strategi dan menerapkan teknik-tenik
yang tepat untuk mengatasi permasalahan siswa yang dilandasi etika dan moral
pembelajaran.
4.
Mengkaji upaya pelaksanaan pembelajaran yang dilandasi
etika dan moral, melalui penelitian tindakan.
Bagaimana cara guru menerapkan etika dan moral dalam
pembelajaran?Sebagai acuan, guru dapat melakukan hal-hal berikut.
1.
Agar dapat memahami orang lain dan dapat melakukan
pembelajaran dengan baik, guru harus terus-menerus menguasai dirinya. Guru
harus berusaha mengerti kekurangan dan prasangka yang dapat mempengaruhi
hubungan dengan orang lain (siswa) dan mengakibatkan rendanya mutu layanan
professional (pembelajaran) atau bahkan merugikan siswa.
2.
Guru dalam membelajarkan siswa, harus tetap menjaga
standar mutu layanan atau status profesinya sehingga dapat dihindarkan
kemungkinan penyimpangan tugas yang tidak sesuai dengan etika dan moral
pembelajaran.
3.
Guru dalam membelajarkan siswa, harus memperhatikan
sifat-sfta keserdehanaan, rendah hati, sabar, menempati janji, dapat dipercaya,
sadar diri dan tidak boleh dogmatis, serta harus penuh dengan rasa tanggung
jawab
4.
Guru harus bersifat terbuka terhadap saran dan kritik
yang diberikan kepadanya dan harus mengusahakan mutu kinerja yang tinggi
5.
Guru harus menghormati harkat dan hak-hak pribadi,
serta menempatkan para siswanya di atas kepentingan pribadinya
6.
Guru dalam proses pembelajaran, tidak membeda-bedakan
siswa (dalam memberikan layanan) dengan dalih apapun
7.
Dalam menjalankan tugasnya, guru harus dapat menerapkan
prinsip-prinsip etika dan moral pembelajaran
8.
Dalam proses pembelajaran mengutamakan penampilan
prima secara fisik, mudah tersenyum dan secara psikis berkepribadian empatik,
simpatik dan tutur bahasa yang jelas, baik dan benar serta eufimistik (santun
atau halus bertutur)
9.
Sekolah dan guru harus dapat menciptakan iklim yang
kondusif (bersih, indah, asri dan nyaman) dan suasana akademik yang menarik,
dengan di dukung oleh fasilitas yang berfungsi mendukung proses pembelajaran
yang beretika. Bermoral dinamis dan terarah.
Dasar-dasar
penyikapan ini selanjutnya akan secara nyata terwujud dalam proses pembelajaran
yang diwarnai oleh komitmen dan motivasi yang tinggi, niat baik yang dilandasi
oleh kepribadian dan keikhlasan, dan kesadaran akan pentingnya professional
diri. Hal ini penting, karena modal untuk melaksanakan tugas-tugasnya seorang
guru di tuntut memiliki :
(a)
Integritas moral kepribadian
(b)
Integritas intelektual yang berorientasi kebenaran
(c)
Integritas religious dalam konteks pergaulan dalam
masyarakat majemuk
(d)
Tingginya kualitas keahlian bidang studi sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
(e)
Memahami, menghargai dan mengamalkan etika profesi
(f)
Mengakui dan menghormati martabat siswa
PENDIDIKAN KARAKTER
|
Pendidikan Karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME),
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia
insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan
atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos
kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi
ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap
akibat dari keputusan yang ia buat.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan
tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian
atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang
dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan
berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence
plus character that is the goal of true education (kecerdasan yang
berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus,
yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),
dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini,
maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual
and emotional development), Olah Pikir (intellectual development),
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis
dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi
ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan,
karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam
tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan
seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter
diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi
nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku
sehari-hari.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah
pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku,
tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua
warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri
khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Melalui pendidikan berkarakter ini diharapkan peserta didik
memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus
memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada
tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya
sekolah.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari
nilai-nilai luhur universal, yaitu:
1.
Karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya;
2.
Kemandirian dan tanggungjawab;
3.
Kejujuran/amanah, diplomatis;
4.
Hormat dan santun;
5.
Dermawan, suka tolong-menolong dan
gotong royong/kerjasama;
6.
Percaya diri dan pekerja keras;
7.
Kepemimpinan dan keadilan;
8.
Baik dan rendah hati, dan;
9.
Karakter toleransi, kedamaian, dan
kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis
dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling
the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab
pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus
ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan
mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau
berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan
perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah
terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi
kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak
usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden
age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam
mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50%
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun.
Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada
pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan
karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi
pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan
karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua
yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan
karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah,
terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang
dalam filosofi Jawa disebut di gugu dan di tiru, dipertaruhkan. Karena guru
adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Keberhasilan pendidikan karakter dapat diketahui melalui
sebagai berikut:
1.
Mengamalkan ajaran agama yang dianut
sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2.
Memahami kekurangan dan kelebihan
diri sendiri;
3.
Menunjukkan sikap percaya diri;
4.
Mematuhi aturan-aturan sosial yang
berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5.
Menghargai keberagaman agama,
budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6.
Mencari dan menerapkan informasi
dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan
kreatif;
7.
Menunjukkan kemampuan berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8.
Menunjukkan kemampuan belajar secara
mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9.
Menunjukkan kemampuan menganalisis
dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10.
Mendeskripsikan gejala alam dan
sosial;
11.
Memanfaatkan lingkungan secara
bertanggung jawab;
12.
Menerapkan nilai-nilai kebersamaan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya
persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13.
Menghargai karya seni dan budaya
nasional;
14.
Menghargai tugas pekerjaan dan
memiliki kemampuan untuk berkarya;
15.
Menerapkan hidup bersih, sehat,
bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16.
Berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan santun;
17.
Memahami hak dan kewajiban diri dan
orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
18.
Menghargai adanya perbedaan
pendapat;
19.
Menunjukkan kegemaran membaca dan
menulis naskah pendek sederhana;
20.
Menunjukkan keterampilan menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
sederhana;
21.
Menguasai pengetahuan yang
diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
22.
Memiliki jiwa kewirausahaan.
DAMPAK PENDIDIKAN KARAKTER
|
Dunia
pendidikan kita masa kini menghadapi persoalan kualitas pendidikan. Contoh yang
paling sering dijadikan wacana adalah perbandingan kondisi pendidikan Indonesia
dan Malaysia. Kalau dulu orang Malaysia banyak belajar ke negeri kita, sekarang
justru sebaliknya orang Indonesia yang menimba ilmu ke Malaysia.
Berbagai pendapat menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia
tidak berlangsung secara efektif dan efisien. Salah satu penyebabnya tidak
efektifnya pendidikan, disebutkan karena tidak adanya tujuan pendidikan
yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Sedangkan penyebab
masalah tidak efisiennya pendidikan disebutkan sebagai mahalnya biaya
pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan serta mutu pegajar.
Apa dampak
pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian
bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan
penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator,
yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr.
Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan
motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang
menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat
dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku
negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School
Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian
tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di
sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan
anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak
pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan
bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan
kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang
keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh
kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami
kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang
bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak
ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang
berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja
seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan
sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter
sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan
Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi
pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada
pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter
ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar
nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai
nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
QUO VADIS (KEMANAKAH PERGINYA)
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN DI TANAH AIR TERCINTA?!
|
Mahasiswa berlari masuk ke
dalam kampus saat terjadi tawuran antara mahasiswa Teknik Universitas Muslim
Indonesia (UMI) melawan anggota Mapala UMI di kampus Universitas Muslim
Indonesia Jalan Urip Sumoharjo, Makassar.
Apakah seperti ini sistem pendidikan di Indonesia? Siapa
yang tidak mengelus dada melihat pelajar yang tidak punya sopan santun, suka
tawuran, bagus nilainya untuk "pelajaran" pornografi, senang
narkotika, dan hobi begadang dan kebut-kebutan.
Itu jenis kenakalan pelajar yang paling umum, sedangkan
kenakalan lainnya antara lain senang berbohong, membolos sekolah, minum-minuman
keras, mencuri, aborsi, berjudi, dan banyak lagi.
Namun, pelajar yang patut dibanggakan juga ada, seperti
mereka yang menjuarai olimpiade sains, baik di tingkat nasional maupun
internasional.
Bahkan, pelajar Indonesia menjadi juara umum dalam International Conference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuwan Muda se-Dunia yang diikuti ratusan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada 12-17 April 2010.
Bahkan, pelajar Indonesia menjadi juara umum dalam International Conference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuwan Muda se-Dunia yang diikuti ratusan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada 12-17 April 2010.
Agaknya, fakta yang ada menunjukkan pendidikan karakter bagi
pelajar Indonesia sudah sangat penting untuk dicanangkan kembali.
Hal ini pun mengingat, kritik terhadap pendidikan formal yang ada di Indonesia sudah banyak dilontarkan. Misalnya, pendidikan di Indonesia disebut-sebut hanya melahirkan ahli matematika, fisika, dan kimia, tetapi lulusannya tidak memiliki karakter.
Hal ini pun mengingat, kritik terhadap pendidikan formal yang ada di Indonesia sudah banyak dilontarkan. Misalnya, pendidikan di Indonesia disebut-sebut hanya melahirkan ahli matematika, fisika, dan kimia, tetapi lulusannya tidak memiliki karakter.
Faktanya, pengangguran terdidik di Indonesia saat ini
mencapai 1,2 juta orang, sedangkan pengangguran tak terdidik hanya 700 orang,
kata konsultan kewirausahaan, Imam Supriyono di Surabaya.
Dalam seminar pendidikan bertajuk Pendidikan dan Dunia Kerja
yang digelar HMI Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, pemimpin SNF
Consulting itu menilai bahwa fakta yang ada membuktikan pendidikan di Indonesia
sangat formalistik.
Padahal, bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk yang
mencapai 225 juta jiwa dengan penduduk miskin cukup besar itu membutuhkan
pendidikan karakter. Karakter yang diharapkan lahir dari dunia pendidikan adalah
karakter yang jujur, tidak minta-minta, dan mampu menemukan jati diri. Kalau
pendidikan hanya mengukur seseorang dari aspek nilai matematika, fisika, dan
kimia maka pendidikan di Indonesia tidak akan melahirkan karakter.
Masalahnya, quo vadis (ke manakah perginya)
pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan di Tanah Air tercinta?!
Pendidikan karakter itu jangan seperti dulu lagi, seperti
pendidikan Pancasila yang dimasukkan dalam mata pelajaran. Karakter itu tidak boleh
khusus, tapi dimasukkan dalam kurikulum pada semua mata pelajaran. Misalnya,
pelajaran IPA, matematika, Bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya harus
diberi "selipan" materi yang mengajarkan tentang kejujuran,
kepercayaan, keberanian, dan sebagainya.
Kalau pada pendidikan formal yang bersifat khusus seperti
Pancasila atau budi pekerti, sepertinya pendidikan karakter akan justru sulit
masuk karena hanya menjadi pengetahuan atau hapalan. Oleh karena itu, kurikulum
untuk semua mata pelajaran harus diberi muatan tentang pendidikan karakter di
dalamnya. Seperti yang dijelaskan oleh pengamat pendidikan dari ITS Surabaya,
Daniel M Rosyid PhD.
Dalam dua dekade terakhir, pendidikan di Indonesia mengalami
dis-orientasi, karena pendidikan di Indonesia justru mengarah kepada dunia industri
seperti yang pernah terjadi di Amerika dan Inggris pada 30 tahun lalu. Agaknya,
pendidikan di Indonesia sudah saatnya untuk memihak kepada kompetensi, baik
kompetensi keahlian maupun kompetensi karakter.
CONTOH PERILAKU GURU YANG
DIANGGAP KURANG PROFESIONAL
|
Berikut
ini adalah beberapa tindakan, perilaku guru/dosen yang mungkin dapat dianggap
kurang bermoral dan kurang beretika.Pendapat ini dikemukakan oleh mahasiswa
Program Kualifikasi S-1 IAIN Sunan Ampel yang berstatus calon guru.
1.
Penyembah berhala guru besar
Beberapa mahasiswa S-1, jika bicara
dengan dosen apalagi pembimbingnya berlaku seperti harimau ompong, dengan
membungkuk-bungkuk dan tidak ketinggalan senyuman manis di bibir. Akibatnya,
ada mahasiswa yang digelari “si prof” atau “si baik Pak” oleh sang dosen itu,
karena mahasiswa ini selalu menerima titah gurunya dengan berkata “baik Prof”
atau “ya, baik Pak”
Menurut saya, sunggung tidak
bermoral mahasiswa ini, karena apabila nanti setelah kembali mengajar, menuntut
siswanya menyanjung dan menghormatinya setinggi langit sebagaimana ia menyembah
berhala dosennya atau guru besarnya, walaupun penyembahannya itu tidak pernah
dituntut berbuat begitu oleh sang guru besar
2.
Saya tidak peduli menipu dirimu sendiri
Seorang siswa “….” Kelas “….” dengan
bangga menceritakan nilai ulangannya yang bagus, lalu dia memuji gurunya yang
beberapa hari menjelang ulangan berkata “Menurut “bapak/ibu” sebaiknya kalian
perlu bekerja sama dengan kelas “…..” dan kalau kalian mendapat bocoran soal,
pandai-pandai kalianlah”. Apa maksudnya perkataan guru yang seperti ini?
Apabila pernyataan tersebut saya
maknai, guru ini ingin mengatakan bahwa silakan nak kamu menipu dirimu dengan
mencari bocoran soal, tetapi pandai-pandailah menjawab dalam ujian nanti,
jangan sampai betul semua sebab bisa di curigai bahwa kelas ini telah berlaku
curang.
3.
Kan Cuma S-1, hafalkan sajalah!
Sejumlah penjelasan mengenai materi
pembelajaran yang rumit disampaikan dan ditampilkan dengan cepat melalui
LCD.Dosen muda lulusan luar negeri ini sedang menerangkan tentang pembelajaran
di kelas. Dikarenakan kurang mengerti dengan penjelasan sang dosen, seorang
teman bertanya dan minta penjelasannya diulangi lagi. Bapak dosen ini menjawab
bahwa filenya boleh difotocopi dan untuk S-1 tidak di tuntut pemahaman yang
mendalam. Menurut saya mungkin pak dosen ini mempertimbangkan masalah waktu
sehingga ia tidak mau mengulangi penjelasannya, tetapi saya dan teman-teman
mengharapkan Ia memberikan rujukan yang jelas untuk kami baca. Buku apa? Dan
halaman berapa? Atau karena kami Cuma mahasiswa S-1 sehingga fotocopi sajalah
filenya ini lalu hafalkan isinya, dan nanti ujian dapat nilai A. kalau begitu
anak S-1 kuliah cuma untuk mencari nilai
donk pak?
4.
Rame-rame menipu diri
Berdebar-debar rasanya saat
mengikuti UAS kuliah matematika, kurang lebih 1 minggu saya persiapkan diri
untuk mengikuti ujian itu.Jangankan ngrepek,
bertanya atau melirik pun tidak bisa.Seorang dosen dan asistennya mengawasi
kami dengan ketat.Sampai-sampai setelah saya mengumpulkan lembar jawaban, di
kertas nilai hasil ujian saya ditulisi oleh dosennya “lihat teman”.Saya bingung
dengan tulisan dosen itu. Ternyata, saya dikira ngerepek kepada teman, karena
jawabannya sama dengan teman.
Keadaan ini beda sekali dengan
ketika saya ujian di SD, SMP atau SMA dulu. Apalagi pada waktu Ujian Nasional.
Kalau ngerepek-nya tidak terlalu
mencolok atau bertanyanya tidak bikin ribut dan mengganggung siswa lain, guru
membiarkan saja, karena apabila hasil ujian kami jelek guru takut pada kepala
sekolah. Kami senang, guru kami pun senang.Padahal guru dan murid rame-rame
menipu diri sendiri.
5.
Menjelaskan teman sendiri
Sudah beberapa kali saya menemui
guru yang suka menceritakan keburukan guru yang lain kepada siswanya atau
kepada teman sejawatnya, kalau tidak menceritakan secara terang-terangan,
melalui lelucon dan olok-oloknya ia menyindir guru lain. Saya yang mulanya
hormat hormat dan kagum kepada seorang guru, menjadi was-was setelah mendengar
atau mengetahui kejelekannya. Akan tetapi, sebenarnya saya yang ikut menertawakan
kejelekan seorang guru dan guru yang membuka kejelekan temannya sendiri itu
sama-sama tidak bermoral.
6.
Aturan yang mengada-ada
Pagi itu, beberapa orang teman
disuruh pulang oleh guru untuk mengganti bajunya.Ada yang salah rupanya pada
bagu teman-teman saya ini.Mestinya baju seragam yang boleh dipakai ke sekolah
adalah baju yang lambang sekolah tersebut dilengkapi dengan atribut yang lain.
Demikian kira-kira bunyi peraturan yang diumumkan.Selain itu, disampaikan juga
bahwa baju seragam yang sesuai dengan peraturan tersebut, telah tersedia di
koperasi sekolah.Ini peraturan dikeluarkan untuk menegakkan kas koperasi atau
untuk disiplin siswa? Bingung juga jadinya!!!
7.
Cerita porno masuk ke dalam sekolah
Apabila sudah tidak tahan mendengar
cerita pornonya, saya keluar dari ruangan saja. Saya bisa merasakan bagaimana
rusaknya jiwa akibat cerita-cerita porno itu, tetapi sekarang malah dijejalkan
ke telinga saya dan teman-teman yang lain oleh senior saya. Katanya saya
diberitahu, karena saya masih bujang untuk persiapan kalau sudah
berkeluarga.Apakah seperti itu yang dinamakan senior yang berwibawa???
8.
Guru dalam melakukan penilaian kepada siswa tidak adil
Siswa yang dianggap kerabat/anak
dari sahabatnya diberi nilai tinggi, walaupun kemampuan anak tersebut
rendah.Sebaiknya para guru mampu menegakkan yang benar adalah benar.Dan yang
salah adlah salah. Jangan memberikan nilai secara subjektif karena adanya
kepentingan tertentu sehingga ia berbuat tidak jujur dan tidak objektif sesuai
dengan kemampuan siswa yang sesungguhnya. Memangnya akan dijadikan apa anak
bangsa ini?
9.
Guru dalam mengajar hanyabmemberikan catatan kepada
siswa, dimana seorang siswa ditugaskan untuk mencatat materi pelajaran di papan
tulis selama jam pelajaran berlangsung, selama siswa tersebut mencatat
pelajaran, guru mata pelajaran tersebut melakukan kegiatan yang tidak
menyangkut proses belajar mengajar, seperti mengobrol dengan guru lain, makan
di kantin. Perilaku guru tersebut tidak baik, tidak memberikan mutu pelayanan
proses belajar mengajar. Seharusnya guru tersebut memberikan materi kepada
siswa dengan cara menerangkan pelajaran dan menjawab pertanyaan siswa apabsiswa
masih belum mengerti tentang materi pelajaran yang telah disampaikannya.
10.
Guru dapat dianggap menilai ilmu lain, jika dihadapan
siswa ia mengatakan bahwa ilmu lain tidak penting, seharusnya guru tidak boleh
bersikap seperti itu karena semua ilmu yang dipelajari di sekolah sama
pentingnya
11.
Seorang guru yang sering membawa masalah keluarga
dalam proses pembelajaran, misalnya di rumah dia bertengkar dengan istrinya,
kemudian saat dia mengajar di sekolah atau berada di sekolah bawaannya
marah-marah dan cemberut.
12.
Kepala sekolah…oooo…kepala….
Seorang kepala sekolah memberikan peraturan bahwa
setiap guru yang akan keluar sekolah diharuskan ijin kepada seorang kepala.
Dikarenakan takut tidak mengajar pada waktu yang telah ditetapkan/dijadwalkan.
Tetapi pada suatu hari saya menemukan di dalam kelas, pada waktu yang
dijadwalkan ada pelajaran “…..” tetapi guru tidak mengajar, padahal guru mata
pelajaran itu ada. Setelah ditelusuri, ternyata guru mata pelajaran tersebut
ngobrol bersama teman karibnya.Apakah masih berlaku dan sudah tepat peraturan
seperti itu???
ANDA AKAN
MENGENAL KECERDASAN MORAL KAPAN SAJA ANDA MELIHATNYA, KAPAN ANDA MENDENGARNYA
SEDANG BEREAKSI. SESEORANG YANG CERDAS DALAM SEGI ITU, CERDAS BUKAN DENGAN
FAKTA DAN ANGKA-ANGKA, MELAINKAN DENGAN CARA TINGKAH LAKUNYA, CARA BERBICARANYA
MENGENAI ORANG LAIN, MEMPERHITUNGKAN ORANG LAIN.
DAFTAR PUSTAKA
|
Badan Silaturrahmi Ulama Madura, 1995,
19 Agustus.UU Antikorupsi akan Direvisi.
Ulama Madura Keluarkan Pernyataan, Jawa Pos, hal. 1
Bergling, K. 1985. Moral Development.Dalam Torsten Husen
dan T. Naville Postlethwaise.(Editor-in-chief).The International Encyclodia of Educational Reseacrh and Studies,
Volume 6, Mo : 3413-3417. Oxford : Perganon Press.
Blasi, A. 1980.Bringing Moral Cognition and Moral Action : A Critical Review of the
Literature. Psychological Bulletin, 88 (1) : 1-45
Dewey, John, 1916. The School and Society.Revised Edition.
Chicago. Illinois : The University of Chicago Press.
_________,.1988. Perihal Kemerdekaan
dan Kebudayaan. Terjemahan E.M. Aritonang. Cetakan Ke-2.Jakarta : Saksama.
Goods, C.V. (Ed). 1945. Dictionary of Education. New York :
McGraw-Hill Book Company Inc.
Irsan, R. 1993, 22 Agustus. Bukan karena Gaji, tapi Soal Moral. Jawa Pos, hlm. 1
Jan Ligthart, 1951, Pelik-pelik Pendidikan. Jilid I s/d VI.
Disadur oleh N.St. Iskandar, J.B. Wolters, Jakarta : Groningen
Kirschenbaum. H. 1980. Values
Clarification, dalam Holl, J.W. (Edited, Selected). Taking Slides : Classshing View on
Controversial Educational Issues. Guilford, Connecticut : The Dushkin
Publishing Group Inc.
Kohlberg, L. 1971. The
Effects if Classroom Discussion on the Development of Moral Judgment. Dalam
L. Kohlberg dan E. Turiel (Eds). York : The MacMillan Company & The Free
Press.
__________ 1977. The
Cognitive-Developmental Approach to Moral Education. Dalam Hass Glen (Ed).
Boston : Allyn and Bacon Inc : 129-145
Langeveld, Prof, Dr. M.J, 1978, Beknopte Theoretische Paedagogiek,
Terjemahan Prof. Dr. I.P. Simanjuntak, M.A., Jakarta : Nasco
Panitia Istilah Paedagogiek, 1954, Kamus Paedagogiek, J.B. Wolters, Jakarta
: Groningen
Purwanto, Ngalim, Drs., 1972, Ilmu Pendidikan, Paket Pengajaran pada
Proyek Kerjasama PT Stanvac Indonesia, Pendopo, dengan IKIP Jakarta
___________ 1984, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remadja Karya
W. Ardhana. 1985. Keefektfian
Pendidikan Moral berdasarkan Beberapa Bukti Empirik. Makalah dibacakan pada
Pidato Lektorat di Depan Sidang Senat Terbuka FIP IKIP Malang. Malang 24
Agustus 1985.
W.K.
Frankena. 1971. Moral Education, Philosophic View of. Dalam Lee C.
Deighton (Editor in chief). The Encyclopedia of Education, Volume 6 :
The McMillan Company & The Press : 394-398
PRAKATA
|
Ada sebuah
pertanyaan serta pernyataan yang sangat mengganjal pada pikiran penulis.
“Apakah anak-anak belajar, mendapat pendidikan di
sekolah hanya untuk menjadi pintar, kemudian lulus ujian?”
“Apakah perubahan watak, perubahan sifat, perubahan
tingkah laku, perubahan karakter anak itu tidak penting?”
“Apakah dengan anak menjadi pintar, lulus ujian akan merubah
anak menjadi manusia yang baik, beradab, beraklak mulia?”
Individu
manusia lahir tanpa memiliki pengetahuan apapun, tetapi ia telah dilengkapi
dengan fitrah yang memungkinkannya untuk menguasai berbagai pengetahuan dan
peradaban. Dengan memfungsikan fitrah itulah ia belajar dari lingkungan dan
masyarakat orang dewasa yang mendirikan institusi pendidikan. Kondisi awal
individu dan proses pendidikannya tersebut diisyaratkan oleh Allah di dalam
firman-Nya sebagai berikut :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl, 16 : 78)
Siapapun
bisa mengajar, tapi tidak semua orang bisa menjadi guru. Guru adalah profesi
mulia yang di didik secara khusus. Itu sebabnya guru menjadi panutan
masyarakat, di gugu dan di tiru oleh anak didiknya. Dengan demikian, guru
menjadi sosok yang sangat berwibawa dalam mencerdaskan bangsanya.
Itu
semua tidak di dapat dengan mudah. Ada caranya, ada ilmunya namanya Ilmu
Pendidikan. Menjadi guru tidak sekedar mengalihkan pengetahuan. Menjadi guru
dibutuhkan kewibawaan dan keteladanan.
“Setiap
anak dilahirkan lengkap dengan fitrahnya. Kemudian dua orang tuanyalah yang
membuatnya beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”
“Tiap-tiap
orang diantara kalian adalah penggembala dan tiap-tiap orang diantara kalian
bertanggung jawab tentang gembalaannya”
PENDIDIKAN
APAKAH PENDIDIKAN ITU ?
APAKAH TUJUAN PENDIDIKAN ?
PENDIDIKAN APA YANG TERPENTING ?
EDITOR :
MUSTAMI’
CONTOH
ALTERNATIF
LANGKAH-LANGKAH
PEMBELAJARAN KARAKTER
|
1. PENDAHULUAN
Berdasarkan
Standar Proses, pada kegiatan pendahuluan, guru:
a. Menyiapkan
peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;
b. Mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang
akan dipelajari;
c. Menjelaskan tujuan pembelajaran
atau kompetensi dasar yang akan dicapai; dan
d. Menyampaikan
cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan
sesuai silabus.
Contoh
alternatif :
a. Guru
datang tepat waktu (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin)
b. Guru
mengucapkan salam dengan ramah kepada siswa ketika memasuki ruang kelas (contoh
nilai yang ditanamkan: santun, peduli)
c. Berdoa
sebelum membuka pelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: religius)
d. Mengecek
kehadiran siswa (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin, rajin)
e. Mendoakan
siswa yang tidak hadir karena sakit atau karena halangan lainnya (contoh
nilai yang ditanamkan: religius, peduli)
f. Memastikan
bahwa setiap siswa datang tepat waktu (contoh nilai yang ditanamkan:
disiplin)
g. Menegur
siswa yang terlambat dengan sopan (contoh nilai yang ditanamkan:
disiplin, santun, peduli)
h. Mengaitkan
materi/kompetensi yang akan dipelajari dengan karakter
i. Dengan
merujuk pada silabus, RPP, dan bahan ajar, menyampaikan butir karakter yang
hendak dikembangkan selain yang terkait dengan SK/KD
2. KEGIATAN INTI
Sesuai
permen 41 tahun 2007 Pembelajatan melalui 3 tahapan yakni :
a. Eksplorasi
(peserta didik
difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan mengembangkan
sikap melalui kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa)
1) Melibatkan
peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema
materi yang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi
guru dan belajar dari aneka sumber (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri,
berfikir logis, kreatif, kerjasama)
2) Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran,
media pembelajaran, dan sumber belajar lain (contoh nilai yang ditanamkan:
kreatif, kerja keras)
3) Memfasilitasi
terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan
guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama,
saling menghargai, peduli lingkungan)
4) Melibatkan
peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran (contoh
nilai yang ditanamkan: rasa percaya diri, mandiri)
5) Memfasilitasi
peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan (contoh
nilai yang ditanamkan: mandiri, kerjasama, kerja keras)
b. Elaborasi
(peserta didik diberi
peluang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta sikap lebih lanjut
melalui sumber-sumber dan kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya sehingga
pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik lebih luas dan dalam.)
1) Membiasakan
peserta didik membaca dan menulis yang
beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna (contoh nilai yang
ditanamkan: cinta ilmu, kreatif, logis)
2) Memfasilitasi
peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan
gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis (contoh nilai yang
ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis, saling menghargai, santun)
3) Memberi
kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak
tanpa rasa takut (contoh
nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis)
4) Memfasilitasi
peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif (contoh
nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, tanggung jawab)
5) Memfasilitasi
peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar (contoh nilai yang
ditanamkan: jujur, disiplin, kerja keras, menghargai)
6) Memfasilitasi
peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara
individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: jujur,
bertanggung jawab, percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
7) Memfasilitasi
peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: percaya
diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
8) Memfasilitasi
peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang
dihasilkan (contoh
nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
9) Memfasilitasi
peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya
diri peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri,
saling menghargai, mandiri, kerjasama)
c. Konfirmasi
(peserta didik
memperoleh umpan balik atas kebenaran, kelayakan, atau keberterimaan dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh siswa)
1) Memberikan umpan balik positif dan
penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap
keberhasilan peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: saling
menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis)
2) Memberikan
konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber (contoh
nilai yang ditanamkan: percaya diri, logis, kritis)
3) Memfasilitasi
peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang
telah dilakukan (contoh nilai yang ditanamkan: memahami kelebihan dan
kekurangan)
4) Memfasilitasi
peserta didik untuk lebih jauh/dalam/luas memperoleh pengetahuan, keterampilan,
dan sikap, antara lain dengan guru :
a) Berfungsi
sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta
didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar (contoh
nilai yang ditanamkan: peduli, santun);
b) Membantu
menyelesaikan masalah (contoh nilai yang ditanamkan: peduli);
c) Memberi
acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi (contoh
nilai yang ditanamkan: kritis);
d) Memberi
informasi untuk bereksplorasi lebih jauh (contoh nilai yang ditanamkan:
cinta ilmu); dan
e) Memberikan
motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif (contoh
nilai yang ditanamkan: peduli, percaya diri).
3. PENUTUP
Dalam
kegiatan penutup, guru:
a. Bersama-sama dengan peserta didik
dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran (contoh nilai yang
ditanamkan: mandiri, kerjasama, kritis, logis);
b. Melakukan
penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara
konsisten dan terprogram (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, mengetahui
kelebihan dan kekurangan);
c. Memberikan
umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran (contoh nilai yang
ditanamkan: saling menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis);
d. Merencanakan
kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remidi, program pengayaan,
layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun
kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; dan
e. Menyampaikan
rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan agar internalisasi nilai-nilai terjadi
dengan lebih intensif selama tahap penutup.
a. Selain
simpulan yang terkait dengan aspek pengetahuan, agar peserta didik
difasilitasi membuat pelajaran moral yang berharga yang dipetik dari
pengetahuan/keterampilan dan/atau proses pembelajaran yang telah dilaluinya
untuk memperoleh pengetahuan dan/atau keterampilan pada pelajaran tersebut.
b. Penilaian tidak hanya mengukur
pencapaian siswa dalam pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pada perkembangan
karakter mereka.
c. Umpan
balik baik yang terkait dengan produk maupun proses, harus menyangkut baik
kompetensi maupun karakter, dan dimulai dengan aspek-aspek positif yang
ditunjukkan oleh siswa.
d. Karya-karya
siswa dipajang untuk mengembangkan sikap saling menghargai karya orang lain
dan rasa percaya diri.
e. Kegiatan
tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan
konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok
diberikan dalam rangka tidak hanya terkait dengan pengembangan kemampuan
intelektual, tetapi juga kepribadian.
f. Berdoa
pada akhir pelajaran.
Faktor
lain yang perlu diperhatikan:
1. Guru
harus merupakan seorang model dalam karakter. Dari awal hingga akhir pelajaran, tutur kata, sikap,
dan perbuatan guru harus merupakan cerminan dari nilainilai karakter yang
hendak ditanamkannya.
2. Guru
harus memberikan reward kepada siswa yang menunjukkan karakter yang dikehendaki dan pemberian punishment
kepada mereka yang berperilaku dengan karakter yang tidak dikehendaki. Reward
dan punishment yang dimaksud dapat berupa ungkapan verbal dan non
verbal, kartu ucapan selamat (misalnya classroom award) atau catatan
peringatan, dan sebagainya. Untuk itu guru harus menjadi pengamat yang baik
bagi setiap siswanya selama proses pembelajaran.
3. Hindari
mengolok-olok siswa yang
datang terlambat atau menjawab pertanyaan dan/atau berpendapat kurang
tepat/relevan. Pada sejumlah sekolah ada kebiasaan diucapkan ungkapan Hoo … oleh
siswa secara serempak saat ada teman mereka yang terlambat dan/atau menjawab
pertanyaan atau bergagasan kurang berterima. Kebiasaan tersebut harus dijauhi
untuk menumbuhkembangkan sikap bertanggung jawab, empati, kritis, kreatif,
inovatif, rasa percaya diri, dan sebagainya.
4. Guru
memberi umpan balik dan/atau
penilaian kepada siswa, guru harus mulai dari aspek-aspek positif atau
sisi-sisi yang telah kuat/baik pada pendapat, karya, dan/atau sikap siswa.
5. Guru
menunjukkan kekurangan-kekurangannya
dengan “hati”. Dengan
cara ini sikap-sikap saling menghargai dan menghormati, kritis, kreatif,
percaya diri, santun, dan sebagainya akan tumbuh subur.
[1]
Panitia Istilah Paedagogik, 1954, Kamus Paedagogik, J.B., Wolters,
Jakarta Gronigen
[2]
Allport, G.W., 1960, Personality :
A Psychological Interpretation, London : Constable and Company Ltd.
[3]
Langeveld, Prof. Dr. M.J., 1978, Beknopte
Theoretische Paedagogiek, Terjemahan Prof. Dr. I.P. Simanjuntak, M.A., Jakarta
: Nasco
[4]
1978, Ketetapan MPR No. IV Tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara, Jakarta : Arah Kebijaksanaan Pembangunan.
[5]
Jan Lighthart, 1951, Pelik-Pelik
Pendidikan, Jilid 1 s/d 6, Disadur oleh N.St. Iskandar, J.B. Wolters,
Jakarta : Groningen.
[6]
Jan Lighthart, 1951, Pelik-Pelik Pendidikan, Jilid 1 s/d 6, Disadur oleh N.St. Iskandar,
J.B. Wolters, Jakarta : Groningen
[7]
Drs. M. Ngalim Purwanto, 1972, Ilmu Pendidikan, Paket Pengajaran pada
Proyek Kerjasama PT. Stanavac Indonesia, Pendopo dengan IKIP Jakarta
[8]
Langeveld, Prof. Dr. M.J., 1978, Beknopte Theoretische Paedagogiek, Terjemahan
Prof. Dr. I.P. Simanjuntak, M.A., Jakarta : Nasco
[9]
L. Kohlberg. 1971. The Effects if
Classroom Discussion on the Development of Moral Judgment. Dalam L.
Kohlberg dan E. Turiel (Eds). York : The MacMillan Company & The Free
Press.
[10]
W.K. Frankena. 1971. Moral
Education, Philosophic View of. Dalam Lee C. Deighton (Editor in chief). The
Encyclopedia of Education, Volume 6 : The McMillan Company & The Press
: 394-398
[11]
A. Blasi. 1980. Bringing Moral
Cognition and Moral Action : A Critical Review of the Literature. Psychological
Bulletin, 88 (1) : 1-45
[12]
L. Kohlberg. 1977. The
Cognitive-Developmental Approach to Moral Education. Dalam Hass Glen (Ed).
Boston : Allyn and Bacon Inc : 129-145
[13]
C.V. Goods. 1945. Dictionary of
Education. New York : McGraw-Hill Book Company Inc.
[14]
W. Ardhana. 1985. Keefektfian
Pendidikan Moral berdasarkan Beberapa Bukti Empirik. Makalah dibacakan pada
Pidato Lektorat di Depan Sidang Senat Terbuka FIP IKIP Malang. Malang 24
Agustus 1985.
[15]
R. Irsan. 1993, 22 Agustus.Bukan karena
Gaji, tapi Soal Moral. Jawa Pos, hlm. 1
[16] K. Bergling. 1985. Moral Development. Dalam Torsten Husen dan T. Naville
Postlethwaise.(Editor-in-chief).The
International Encyclodia of Educational Reseacrh and Studies, Volume 6, Mo
: 3413-3417. Oxford : Perganon Press.
[17]
L. Kohlberg. 1977. The Cognitive-Developmental Approach to Moral Education.
Dalam Hass Glen (Ed). Boston : Allyn and Bacon Inc : 129-145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar